Di Paksa Menikah - Chapter 202. BAB 199
Sembilan bulan kemudian
Keadaan Intan tetap sama, bahkan sekarang tubuhnya semakin kurus. Begitu juga dengan Ricko. Karena Intan koma, tidak ada yang mengurusnya seperti dulu. Setiap hari ia mondar mandir rumah sakit, perusahaan, dan rumah.
Ricko sesekali pulang untuk melihat si kembar yang kini sudah bisa merangkak. Bu Sofi dan bu Romlah kewalahan mengejar mereka yang semakin aktif bergerak merangkak ke sana mari. Ricko juga mempekerjakan dua orang babysitter untuk menjaga mereka karena perawat yang ia sewa sudah kembali ke rumah sakit setelah si kembar berusia tiga bulan. Meskipun dulu mereka lahir dengan keadaan prematur, tapi sekarang tubuh mereka sehat dan gendut karena Ricko mempekerjakan ahli gizi untuk memasak makanan mereka. Ia juga membeli susu formula import berkualitas tinggi untuk menunjang gizi dan kecerdasan mereka. Pak Bambang dan pak Ramli juga sering menjenguk mereka di rumah Ricko. Mereka sangat senang karena kini sudah menjadi kakek.
“Dokter, sampai kapan istri saya seperti ini?” tanya Ricko saat menjenguk istrinya dengan mata berkaca-kaca setiap kali melihat keadaan istrinya yang berbaring tidak berdaya.
“Kami tidak bisa memastikannya, Pak,” jawab dokter yang menangani keadaan Intan.
“Apa yang akan terjadi kalau alat-alat itu dilepas dari tubuh istri saya?” tanya Ricko.
“Istri anda akan meninggal. Karena itu satu-satunya alat yang membuatnya masih bisa hidup sampai saat ini,” jawab dokter dengan sedih karena tidak bisa membuat pasiennya sembuh seperti sediakala.
Ricko pun menghirup napas dalam-dalam dengan memejamkan matanya. Air mata pun lolos dari pelupuk matanya. ia tidak akan bisa hidup kalau istrinya meninggal.
“Dokter, saya ingin istri saya dirawat di rumah. Saya akan membeli alatnya berapapun harganya,” ucap Ricko dengan sungguh-sungguh.
“Tapi … harga alat ini sangat mahal, Pak. Dan rumah sakit kami membelinya dari luar negeri,” tutur dokter itu yang bernama Remon.
“Saya tidak akan mempermasalahkan biaya dan harganya. Berapun itu akan saya beli,” ujar Ricko. Ia tidak perduli berapapun biaya yang akan ia keluarkan untuk bisa menyembuhkan istrinya.
“Baiklah. Kami akan mempersiapkannya dalam waktu dua minggu, Pak. Karena kami harus memesan alatnya terlebih dahulu dari Amerika,” balas Dokter Remon.
“Terima kasih, Dok,” ucap Ricko seraya mengusap air matanya.
***
Dua minggu kemudian
Kini Intan sudah berada di rumahnya. Ricko menyewa 3 dokter jaga dan 3 orang perawat untuk menjaga Intan bergantian terbagi menjadi 3 sift. Semua dokter dan perawat itu setiap hari pulang dan bergantian menjaga Intan.
Ricko senang akhirnya kini mereka berempat bisa berkumpul di rumah mereka. Dengan begini ia bisa melihat istri sekaligus anaknya dalam waktu yang bersamaan. Akhir-akhir ini ia bekerja dari rumah dengan Romi yang bekerja di perusahaan.
Setiap hari Ricko selalu menyeka tubuh Intan dengan tangannya sendiri. Ia merawat dan membersihkan tubuh Intan dengan sabar dan telaten. Setiap melakukan itu mata Ricko selalu berkaca-kaca. Dulu Intan paling tidak suka kalau payudaranya disentuh. Ia pun mencoba melakukan itu dan berharap Intan akan menepis tangannya seperti dulu. Namun, setelah Ricko melakukannya, tetap saja tidak ada respon dari Intan.
“Sayang … kapan kamu akan bangun? Anak kita sudah besar. Mereka butuh mamanya,” ucap Ricko pada Intan dengan lirih dan akhirnya bulir bening pun keluar dari matanya dan menetes membasahi dada Intan.
Setelah itu Ricko keluar dari kamar itu untuk bekerja di ruang kerjanya. Tanpa Ricko tahu air mata keluar dari pelupuk mata Intan.