Jenius Yang Nakal - Chapter 484
Beni yang terus mengejar Emi yang menarik Feby dan tak ingin pulang dengannya membuat Beni merasa tidak nyaman untuk melepas Emi dalam keadaan seperti itu.
“Lakukan sesuatu!” tatap Beni kepada Feby yang terus ikut terseret oleh Emi.
“Kau yang harusnya lakukan sesuatu. Kenapa malah menyuruh aku sih?” Feby balik menatap tajam kepada Beni dengan kesal.
Keduanya terus bertengkar satu sama lain dengan menggunakan gerakan bibir. Feby tau betul kalau Emi saat ini benar-benar marah, sehingga ia tidak tahu harus berkata apa untuk menenangkannya.
“Ayolah, bantu aku mengatakan sesuatu. Jangan biarkan dia pulang!” Beni mengangkat keduanya tangannya memohon kepada Feby untuk membantunya. Feby menarik nafas putus asa dan memikirkan cara yang tepat untuk bisa menenangkan Emi.
“Em… bukankah harusnya kamu membicarakan hal ini dengan Beni terlebih dahulu?” tanya Feby dengan lembut yang langsung membuat Emi sejenak berhenti dan terdiam.
“Emi, maafkan aku. Tapi apa yang terjadi tidak seperti yang kau lihat tadi, semua ini terjadi karena…” Beni sejenak terhenti karena bagaimanapun juga dia tidak bisa mencari kesalahan orang lain hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
“Kenapa? Kau tidak bisa menjelaskannya bukan? Apakah segitu Sukanya kalian pada wanita itu sampai kalian melompat lompat dengan begitu heboh sampai kau lupa kalau kau juga seorang artis papan atas?” Emi sebenarnya marah karena selain ia merasa cemburu, namun karena ia kesal dengan sikap ceroboh Beni yang bisa saja membuatnya tersorot oleh media dengan begitu mudahnya.
Emi juga sengaja menyeret Feby bersamanya karena tak ingin ada yang melihat Beni sedang mengejar dirinya. Ia membawa Feby sebagai kamuflase agar media tidak menyadari apa yang sedang terjadi dan Feby juga tahu akan hal tersebut.
“Bukan begitu, tapi.. arghhh.. aku tak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk menjelaskannya padamu.” Beni merasa kesal karena takt ahu harus bagaimana.
“Sudahlah, sebaiknya kamu pulang saja sekarang. Besok kau masih memiliki banyak jadwal yang padat bukan?” Emi yang kembali melangkah pergi membuat Beni panik dan langsung menggendong Emi di bahunya.
“Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!” Emi meronta kaget karena apa yang dilakukan oleh Beni segera mendapat banyak perhatian orang. Beni menggendong Emi dengan terus berusaha menutupi wajahnya agar tak di ketahui oleh orang banya.
“Hei, kau mau membawanya kemana?” karena khawatir, Feby dengan segera mengejar Beni dan mengekorinya dari belakang.
Beni langsung mendudukkan Emi ke dalam Gondola dan menyuruh penjaganya untuk segera menguncinya dan memutarnya. Menyadari siapa yang sedang berbicara tersebut, dengan cepat dia menuruti kata-kata Beni.
“Tolong bayarkan tiketnya.” Tunjuk Beni dengan Bahasa isyarat kepada Feby. Feby hanya bisa menepok jidatnya dengan keras melihat aksi nekat yang dilakukan oleh Beni.
Emi yang ingin turun tapi begitu gondola itu semakin tinggi membuatnya kembali duduk dengan pasrah. Beni berhasil membuat kesempatan untuk bisa mendapatkan waktu untuk berbicara kepada Emi dengan lebih nyaman.
“Ya sudahlah, yang lainnya mungkin sudah pulang juga. Sebaiknya aku berkeliling satu kali dulu sebelum pulang. Biar Beni saja yang mengantar Emi pulang, dengan begitu mereka bisa punya waktu lebih banyak untuk berdua.” Feby yang masih ingin menikmati keramaian itu dengan segera berkeliing ke beberapa stand yang menarik setelah sebelumnya membayarkan tiket gondola Beni dan Emi.
Disisi lain, Adora hanya terus terdiam tak mengatakan apapun sama sekali. Pikirannya terus melayang karena tidak bisa menyalahkan Zein hanya karena hal sepele tersebut terlebih karena ia tahu kalau Zein bukanlah tipe orang yang akan tertarik dengan hal-hal seperti yang baru saja ia lakukan sebelumnya.
“Apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu kepadaku?” tanya Zein begitu mereka sudah sampai ke depan rumah Adora.
“Tidak ada, terimakasih karena sudah mengantarku pulang. Kau sudah bisa beristirahat sekarang.” Ucap Adora membuka sabuk pengamannya dan turun dari mobil Zein.
“Adora, kau baik-baik saja kan?” tanya Zein dengan tatapan sangat khawatir kepada Adora.
“Ummm.. pulanglah, hati-hati dijalan. Maaf sudah membuatmu khawatir. Aku baik-baik saja kok.” Adora berusaha menampilkan wajah tersenyumnya kepada Zein. Setelah mengatakan hal tersebut, Adora segera berbalik pergi namun dengan cepat Zein menghadangnya.
“Tidak, aku tidak bisa membiarkanmu pergi dengan keadaan seperti itu. Aku tau kau mempercayaiku, tapi aku bisa melihat rasa sakit hatimu juga.” Jelas Zein bisa memahami perasaan Adora dengan baik.
“Huhhhh… kenapa tidak ada yang berjalan dengan lancar? Padahal ini merupakan kencan pertama kita setelah sekian lama. Aku bahkan tidak masalah meski harus bersama dengan yang lainnya, karena aku sangat Bahagia akhirnya kita juga bisa berkumpul bersama.” Adora mendesah dengan kuat dan terduduk memegang wajahnya.
Adora sangat menyesali apa yang sudah terjadi malam itu, ingin sekali air matanya jatuh karena akhirnya ia tidak memiliki kesempatan untuk bisa bersama lebih lama dengan Zein. Zein yang selalu sibuk dengan pekerjaanya sebagai gubernur membuat Zein tidak memiliki waktu untuk hal lain. Apa lagi jika harus kencan dengan Adora, dia tidak bisa melakukannya di tempat umum seperti yang lainnya.
Melihat Adora yang terduduk dengan kekesalah hati membuat Zein langsung menngendongnya. Adora kaget saat merasakan tubuhnya terangkat ke atas dan kembali di masukkan ke dalam mobil. Zein tidak bisa membiarkan Adora pergi dengan suasana hati yang buruk, sehingga dengan cepat dia membawa Adora ke suatu tempat.
“Mau kemana kau?” Gina langsung menghentikan Gani yang mengendap-endap ingin melarikan diri.
“Um.. Aku ingin pulang. Ya benar pulang, sekarang rasanya aku capek sekali. Aku ingin pulang dan beristirahat dengan tenang. Kamu bisa bersenang-senang terlebih dahulu dengan yang lainnya, biar aku pulang sendiri saja. Bye semuanya.” Ucap Gani yang dengan cepat langsung ingin melarikan diri.
Gina hanya tersenyum dengan licik namun tentu saja dia tidak akan membiarkan Gani untuk pergi begitu saja. Gina dengan cepat meraih kerah baju Gani dan langsung menjepit kepalanya dengan keras.
“Kau pikir bisa pulang dengan begitu mudah hah?” Gina kembali menjepit kepala Gani dengan keras hingga membuat wajahnya tampak merah karena kehabisan nafas.
“Puffttt… hahahaha, kalian akrab sekali. Sepertinya menyenangkan memiliki seorang kembar yang bisa diajak seru-seruan bersama.” Vindra tertawa melihat mereka yang terlihat begitu akrab dan sedikit konyol.
“Akrab? Seru? Kau pikir aku senang memiliki kembar bar-bar seperti dia?” tunjuk Gani kesal terhadap perlakukan Gina kepadanya.
“Kau pikir akum au mengurusmu? Kalau saja kau tidak menyusahkan aku setiap waktu aku juga takkan peduli padamu!” Gina semakin kesal mendengar apa yang dikatakan oleh Gani sehingga dia kembali mencekik leher Gani dengan kuat.