Jenius Yang Nakal - Chapter 493
“Uakkhhh” Yani merasakan sakit saat lehernya terpelintir oleh jari telunjuk Rinto yang kembali menyerangnya pada bagian dahi. “Ah.. maaf, apa kau baik-baik saja?” Tanya Rinto merasa khawatir mendengar sedikit bunyi krek pada bagian leher Yani. Dia ingin sekali memegang leher Yani namun kemudian kembali mengepalkan tangannya karena Rinto masih berusaha bersikap sopan kepadanya. “Bapak kenapa sih? Apa yang sedang bapak lakukan? Apa sampai segitunya tidak ingin menyentuh orang? Kalau iya bukan kayak gini juga caranya dong.” Omel Yani karena merasakan sakit pada lehernya dan tangannya yang sedikit ketumpahan oleh air kopi yang panas. “Bukan itu maksudku, tapi aku…” Rinto berusaha untuk menjelaskannya kepada Yani, tapi ia tidak tahu kata apa yang pas untuk ia ucapkan kepadanya. “Sudah lah pak, mungkin aku yang salah paham. Aku hanya sudah terlalu banyak berharap dan kegeeran saja mendengar bapak yang mengatakan kalau bapak ingin menjadi suamiku.” Gumam Yani sembari berlalu pergi setelah mengambil tisu untuk membersihkan dirinya. “Ya… anu.. sa… ” Rinto terbata-bata saat melihat Yani hanya melangkah pergi meninggalkannya disana. “Arrrghhh Anggg!” Rinto mengeram dan langsung menggigit jarinya sendiri. Entah bagaimana jari telunjuknya selalu saja selangkah lebih cepat dari pada jarinya yang lain. “Ada sepuluh jari yang ada di tanganku, tapi kenapa kamu malah jadi yang paling agresif sih?” Rinto yang terlihat sedang memarahi jarinya sendiri membuat salah seorang Ob yang berada di sana memicingkan matanya dengan perasaan aneh. Rinto dengan segera kembali ke dirinya setelah terbatuk pelan dan menyembunyikan tangannya dengan malu-malu. Dia pun berjalan pergi dari sana secepat mungkin melupakan tujuannya yang sebelumnya. Rinto kembali memikirkan perkataannya yang semalam saat dia dengan gampangnya mengaku sebagai calon suami di hadapan Ayah Yani. Saat ini dia memang masih belum memiliki perasaan lebih kepada Yani. Sebenarnya yang terjadi adalah Rinto masih belum menempatkan hatinya pada seseorang. Meski ia sempat tertarik kepada Yani, ringtone takut kalau dia hanya merasakan sepihak saja seperti yang telah lalu kepada Alisya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan untuk mempertanggungjawabkan kata-kataku tersebut.” Gumam Rinto sambil terus berjalan dengan kepala tertunduk. “Kata-kata apa yang perlu kau pertanggungjawabkan?” Alisya yang mendengar apa yang dikatakan Rinto langsung bertanya kepadanya tanpa basa-basi. Rinto terkejut bukan main tak menyangka kalau Alisya akan mendengarkan apa yang sudah dikatakannya. Ekspresi Rinto tiba-tiba saja sangat rumit untuk dijelaskan oleh Alisya, sebab baru kali ini dia melihat Rinto tampak gusar dengan berjalan tertunduk. “Em… Itu, bukan hal yang penting.” Jawab Rinto cepat. Tidak mungkin baginya untuk memberitahu Alisya akan apa yang sudah ia katakan semalam. Dia masih malu untuk mengakuinya sebab Ia merasa kalau apa yang dikatakannya tersebut cukup menggelikan mengingat situasi yang sedang dihadapi mereka. “Ya sudah kalau begitu. Aku ingin meminta satu permohonan kepadamu jikalau kau tidak keberatan.” Ucap Alisya dengan sedikit ragu kepada Rinto. Perintah sedikit tertegun mendengar apa yang dikatakan oleh Alisya. Tentu saja karena Alisya selama ini tidak pernah meminta banyak hal kepada dirinya. “Tentu saja, Kau bisa mengatakannya kepadaku. Aku akan melakukannya dengan semaksimal mungkin.” Ucap Rinto dengan sangat senang. Rinto yang sangat menghormati Alisya, tentu saja sangat senang ketika mendapatkan permohonan dari dirinya. “Kau tentu sudah mengetahui bagaimana perlakuan Ayah Yani kepada Yani atas kejadian semalam. Mengingat kalau Ayah Yani telah melihat kau sudah menyelamatkan Yani, maka besar kemungkinan dia akan menghindarimu.” Terang Alisya yang mulai menjelaskan situasi Yani. “Untuk itu… dalam beberapa saat kedepan, aku harap kamu bisa tetap terus berada di sekitarnya agar dapat membuat Ayah Yani tidak lagi datang menghampiri Yani dalam waktu dekat ini. Terutama membuat Ayah Yani untuk tidak mendekati ibu yang sedang sakit.” Jelas Alisya yang ingin menyerahkan penjagaan Yani kepada Rinto. “Baiklah jika memang seperti itu. Aku juga sudah terlanjur melibatkan diriku kepada Yani. Selain itu memikirkan apa yang telah dilakukan oleh Ayah Yani kepada Yani membuatku tidak bisa membiarkannya sendirian.” Ucap Rinto menyanggupi permintaan Alisya. “Terima kasih banyak karena kau sudah mau melakukannya.” Ucap Alisya merasa lega mendengar apa yang dikatakan oleh Rinto. “Kau terlalu sungkan padaku. Tapi kalau boleh tahu, apakah Yani hanya sendiri saja dan tidak memiliki seorang saudara?” Tanya Rinto ingin memastikan. “Dia memiliki seorang adik perempuan yang sekarang mungkin akan ujian sekolah. Adiknya itulah yang sering membantunya ketika Yani sibuk dengan pekerjaannya.” Jelas Alisya kepada Rinto. Mereka segera menghentikan percakapan mereka, ketika melihat ada beberapa pegawai yang datang menghampiri mereka. “Terima kasih banyak Pak atas bantuannya, Saya permisi dulu.” Ucap Alisya dengan begitu lugu nya langsung pergi meninggalkan Rinto di sana. Yani yang harus mengerjakan banyak hal pada hari itu, dengan tangan kanannya yang terus menghambatnya akhirnya harus sedikit terlambat hingga sore hari. “Kau seharusnya mengistirahatkan dirimu dan jangan terlalu memaksakan diri.” Lian segera mengingatkan Yani agar tidak terlalu terfokus dengan pekerjaannya. “Benar, sebaiknya kita pulang sekarang.” Ajak Alisya kepada Yani. “Oke, aku akan pulang setelah menyelesaikan satu bahasa program ini lagi, kalian bisa jalan terlebih dahulu. 5 menit lagi aku akan menyusul untuk pulang.” Jelas Yani karena masih ingin benar-benar menyelesaikan pekerjaannya sebelum pulang. “Baiklah kalau begitu kami pulang duluan, sebaiknya kau mendengarkan perkataan kami.” Ancam Lian sebelum keluar dari ruangan mereka. “Jangan khawatir…” ucap Yani sambil tersenyum. “Kami permisi dulu.” Vindra segera berpamitan kepada Yani setelah mendapatkan tanda dari Alisya untuk pulang bersama. Yani hanya mengganggu dan kembali fokus kepada pekerjaannya. Setelah beberapa menit kemudian, dia benar-benar telah menyelesaikan pekerjaannya dan meregangkan tubuhnya karena kelelahan. “Uwaah.. mengetik dengan menggunakan satu tangan ternyata cukup pegal juga.” Yani Joni memijat-mijat tangannya yang terasa kebas. “Kau masih belum pulang juga?” Rinto datang menghampiri Yani. “Yah, ada sedikit yang harus aku selesaikan tadi. Tapi sekarang aku sudah bisa pulang.” Ucap Yani berdiri dari kursinya namun karena kakinya yang keram karena terus menggantung dalam beberapa jam membuatnya kesulitan untuk berdiri hingga akhirnya ia hampir terjatuh saat memegang kursinya sebelah tangan. Kursinya yang memiliki roda membuatnya kehilangan keseimbangan dan tubuhnya condong kedepan, dan lagi-lagi Rinto meletakkan telunjuknya pada kepala Yani agar ia bisa berdiri dengan tegak. Melihat telunjuk Rinto di kepalanya segera membuat Yani menjadi sangat panas dan kesal. “Jari telunjuk lagi? Kamu gak capek apa ngasih aku jari telunjuk mu terus? Kenapa tidak sekalian kasih aku aku jari manismu biar aku bantu masukkan cincin disana. Biar aku bisa mengikatmu dan menjadikanmu imamku dengan begitu kau tak perlu lagi ragu untuk menyentuh setiap inci tubuhku menggunakan sepuluh jarimu!!! Huhh huhhh huh.. ” Yani benar-benar telah selesai mengatakan semuanya kepada Rinto dengan satu tarikan nafas yang langsung menyudutkan Rinto kedekat dinding.