Jenius Yang Nakal - Chapter 503
Rinto terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Yani, dia tidak menyangka kalau Yani bisa memiliki perasaan padanya. Ia mengira kalau apa yang dilakukan Yani padanya selama ini hanyalah sekadar bentuk perhatian seadanya saja tanpa perasaan lebih. “Dari mana kau mendengar itu? Apa kau sudah mendengar secara langsung dari Rinto sendiri?” Tanya Ibunya memastikan apa yang dimaksudkan olehnya. “Ummm.. Yani memang tidak mendengarnya secara langsung darinya, tapi selama ini semua orang berkata seperti itu.” Terang Yani kembali meletakkan gelas yang diberikan ibunya setelah meminum obat. “Kenapa kau mempercayai apa yang dikatakan orang lain? Dan bisa saja apa yang kamu dengarkan itu tidak benarkan. Selain itu, apa Rinto mengetahui perasaanmu terhadapnya?” Ibu Yani semakin penasaran dengan hubungan keduanya. “Emm… sebenarnya Yani tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang lain.” Ucap Yani singkat sembari tertawa pelan. “Sikap dia yang selalu dingin kepada semua wanita itu sudah cukup menjelaskannya kok Ma, dan soal perasaan ku padanya biarlah tetap bersamaku saja. Rasanya malu sekali jika kau harus mencintai seorang pria terlebih dahulu dengan pria yang malah mencintai wanita lain.” Jelas Yani membereskan beberapa barang yang tampak berantakan di sekitarnya. “Lagi pula, mencintai dalam diam dan mendoakan yang terbaik untuknya rasanya lebih nyaman untuk ku. Mama tidak perlu khawatir soal diriku, jika Allah swt memang menakdirkan kita untuk bersama maka itu adalah satu hal yang takkan pernah bisa aku tolak bahkan jika aku mau.” Senyum Yani segera membuat ibunya kembali merebahkan diri untuk beristirahat. “Tapi mama berharap kalau kalian berdua berjodoh, mama sangat suka dengan Rinto. Dia sepertinya anak yang baik dan sangat sopan juga santun. Dia sangat tau bagaimana cara memperlakukan wanita.” Ibu Yani merebah dan menarik selimutnya sembari mengungkapkan pikirannya kepada Yani. “Terima kasih banyak Ma… Jika dia mendengar mama sekarang pasti kepalanya sangat besar karena pujian mama.” Terang Yani membenarkan posisi selimut ibunya. “Tidurlah, jangan terlalu banyak memikirkan hal lain lagi.” Lanjutnya lagi memukul ibunya dengan sedikit gemas. Setelah mematikan lampunya, Yani tampak menuju ke luar ruangan yang langsung dengan cepat membuat Rinto segera melarikan diri dengan bersembunyi di sebelah dinding yang lain. “Hufffft… apa yang harus aku lakukan sekarang, kalau mama sudah tau tentang ini maka dia pasti tidak akan berhenti untuk menanyakan pak Rinto. Kenapa kau harus muncul kemarin jika hanya untuk mampir dan membuat mereka berharap.” Yani menempelkan kepalanya di pintu dengan raut wajah yang sarat akan kesedihan. Dia kemudian berjalan dengan gontai dan tak melihat parsel buah yang berada di bawah kakinya. Dia menuju ke mesin penjual minuman dan membeli sekaleng minuman kopi lalu duduk meminumnya di tempat yang sedikit gelap. “Setelah mendengar ini semua, aku tak tahu bagaimana harus menghadapi mu. Rasanya semua ini tak terduga dan sulit bagiku untuk mencernanya.” Tatap Rinto pada Yani yang sudah mulai berdiri di pagar rumah Sakit dan menatap jauh memandang langit malam itu. Melihat dari jauh air mata Yani yang jatuh membasahi pipinya membuat Rinto sangat ingin menghampirinya tapi langkahnya terhenti dengan cepat. “Apa yang akan kau lakukan jika sudah kesana? Apa kau ingin menghapus air matanya? Jika memang seperti itu, selanjutnya apa? Apa yang bisa kau lakukan untuknya?” Rinto terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Dia yang tidak mendapatkan jawaban apapun atas pertanyaanya sendiri pada akhirnya memilih pergi dan tak melakukan apapun. Dia melangkah dengan begitu cepat dan begitu sampai pada mobilnya yang terparkir, Rinto langsung menendang ban mobilnya dengan sangat kuat. “Aku masih terlalu lemah untuk semua ini, hatiku terlalu pengecut untuk memulai yang baru. Aku tak menyangka kalau aku sampai sepengecut ini, dan….” Rinto tenggelam dalam pikirannya sendiri tanpa memperdulikan mobilnya yang terus berbunyi karena tendangan yang dilakukannya. Setelah cukup tenang, dia mematikan alaram mobilnya lalu kemudian bergegas pergi dan membelah malam dengan sangat kencang. Rinto menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu takut untuk menerima kenyataan. Yani kembali ke ruangan ibunya setelah selesai menghabiskan minumannya. Dia terkejut saat melihat parsel buah yang berada di depan pintu ruang tersebut. “Ini.. kenapa bisa ada disini?” Yani mengangkat parsel tersebut dengan wajah kebingungan. Tidak pernah hal tersebut terjadi sebelumnya, apalagi melihat parsel tersebut tampak sedikit hancur dan lecet dengan beberapa buah tampak berhamburan di sekitarnya. Yani memungut buah tersebut satu persatu sembari menoleh ke kiri dan ke kanan menanyakan kepada suster yang sedang berjaga tak jauh dari mejanya. “Mbak, ini punya siapa yah? Kok bisa ada di pintu masuk ruangan ibu saya?” Tanya Yani penasaran kepada suster tersebut. “Oh itu tadi saya liat ada pemuda yang kemarin datang menemui ibumu, dia hanya meletakkan parsel itu di depan pintu kemudian setelah mengikuti mu ke balkon dia pergi.” Jawab suster tersebut dengan ramah. “Mbak nggak salah lihat? Parsel ini beneran dia yang meletakkannya disana?” Tanya Yani ingin memastikannya sekali lagi. Yani tak mengira kalau Rinto ternyata datang berkunjung di waktu yang sudah cukup larut tersebut. “Iya mbak, saya yakin kalau dia pria yang kemarin.” Jelasnya lagi dengan penuh keyakinan. Yani larut dalam pikirannya, jika dia benar sudah berada disana sebelumnya dan mengikutinya ke balkon setelah meletakkan parsel buah di depan pintu ruangan ibunya, itu berarti Rinto telah mendengar semua percakapannya dengan ibunya. “Tapi seingat saya, parsel itu tadi baik-baik saja, kenapa sekarang terlihat sangat hancur berantakan seperti itu?” Ucap sang suster saat melihat kondisi parsel buah yang di bawa oleh Rinto terlihat kacau dan hancur. Yani membelalak matanya mengingat mana mungkin parsel itu bisa hancur berantakan jika Rinto meletakkan parsel buah tersebut dengan baik di depan pintu. “Brakkkk” Yani berlari dengan sangat kencang menuju kamar ibunya. “Mbak… mbak Yani, Ada apa???!” Teriak sang suster kebingungan dan langsung mengikutinya karena khawatir. Begitu masuk kedalam kamar ibunya dan menyalakan tempat tersebut, ia melihat ranjang ibunya telah kosong dan tempat dimana adiknya juga ikut tertidur juga kosong. Tempat itu sedikit berantakan seolah baru saja terjadi penggeledahan di sana. Sang suster segera menelpon keamanan untuk memberikan laporan dan Yani yang ingin keluar kamar tiba-tiba terhenti saat ia melihat sebuah surat tertempel di pintu ruangan tersebut. “Jika kau ingin Ibu dan Adikmu selamat, sebaiknya kau datang sendiri saja di tempat ini. Jika kau berbuat macam-macam, kau hanya akan melihat mayat keduanya.” Itulah yang tertulis pada kertas tersebut yang langsung membuat Yani terduduk dengan lemas di lantai.