Jenius Yang Nakal - Chapter 505
Yani tidak merasakan apapun ketika melihat Ayahnya yang tampak babak belur dengan wajah yang sudah tidak bisa dikenali lagi karena dipenuhi darah dan memar di seluruh wajahnya. Yani hanya memikirkan bagaimana cara untuk ia dapat menyelamatkan ibunya dan adiknya secepatnya.
“Aku tak peduli dengan apa yang kau lakukan pada Ayahku, tapi lepaskan ibu dan adikku. Aku bersedia untuk menggantikan mereka berdua dan melakukan apapun yang kamu inginkan.” Yani mencoba untuk bernegosiasi dengan pria tersebut.
“Kau pikir dirimu bisa menggantikan kerugian yang aku dapatkan?” Pria itu memegang dagu Yani dengan kasar dan menghempaskannya dengan sangat kuat hingga yani kembali terjatuh dilantai.
“Uang serratus juta itu mungkin saja cukup untuk menggantikan kamu dan adikmu ini, tapi kerugianku terhadap banyaknya anak buahku yang mati tentu saja hal ini tidak cukup. Selain itu, pria yang sudah menyelamatkanmu malam itu tentu saja harus membayar semua ini dengan sangat mahal.” Terangnya lagi dengan setengah tertawa sembari menghadapi Yani dengan teduduk dihadapannya.
“Rinto? Apa yang kau ingin lakukan padanya? Semua ini tak ada hubungannya dengannya. Tidak usah melibatkan pria itu, dia sama sekali tak tahu apapun yang terjadi.” Bentak Yani ketika mendengar pria itu menyinggung Rinto.
“Plakkkk!” tampar pria itu kepada Yani dengan sangat keras hingga membuat pipi Yani memerah dan matanya berair menahan rasa sakit yang tak terkira.
“Kau pikir aku akan membiarkannya begitu saja setelah semua yang sudah ia lakukan padaku? Beraninya dia mempermalukanku di hadapan semua orang hingga aku harus mendapatkan penghinaan dari mereka semua.” Bentaknya dengan sangat kasar hingga membuat telinga Yani berdengun dengan sengat kuat.
“Apa yang kau inginkan sebenarnya, bukankah kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dengan seluruh keluargaku yang sudah berada di tanganmu hah?” Yani masih terus berusaha menentangnya dengan semua yang sudah di lakukannya.
“Hubungi Pria itu.” Perintah Pria tersebut dengan menyodorkan hanphone miliknya, meminta Yani untuk menghubungi Rinto.
Yani terdiam dan tak berniat untuk menghubungi Rinto, dia tidak ingin Rinto terjebak dalam urusannya yang kemudian membuar Rinto dalam bahaya. Meski sangat ingin menyelamatkan ibu dan adiknya, dia tidak mungkin membuat orang lain dalam bahaya. Selain itu, pria dihadapannya ini hanya akan membunuh Rinto dan takkan melepaskan mereka meski apa yang di inginkannya sudah terkabulkan.
“Tidak, aku tidak akan menghubunginya.” Ucap Yani dengan sangat tegas dan eskpresi tajam penuh keyakinan.
“Sepertinya kau sudah salah paham, aku bukannya sedang membuat permintaan padamu sekarang, tetapi aku sedang membuat sebuah perintah padamu. Kau pikir aku takkan segan padamu hanya karena aku menyukaimu? Kau salah besar.” Pria itu berdiri dan menghampir mejanya lalu mengambil sebuah pistol dari atas mejanya.
“Aku paling tidak suka jika apa yang aku katakana di langar dengan sangat mudah.” Lanjutnya lagi lalu mengangkat senjatanya kemudian ia arahkan pada seseorang.
“Dorrrrr…!” sebuah tembakan melesat melewati dirinya yang langsung membuatnya terkejut bukan main. Jika pria itu tak menembak Yani, maka ada dua orang yang saat ini berada di belakangnya, yaitu ibu dan Ayahnya.
Dengan tubuh yang bergetar dan mata yang terbuka lebar, Yani menoleh kebelakang secara perlahan-lahan untuk memastikan siapa orang yang telah ditembak oleh pria tersebut. Meski sangat terkejut ketika melihat Ayahnya lah yang tertembak oleh pria tersebut, Hati Yani sedikit merasa legah karena ibunya masih baik-baik saja. Akan tetapi, melihat Ayahnya yang mati dengan cara seperti itu membuat Yani tidak bisa untuk tidak menitikkan air matanya.
“Kau tidak akan tahu siapa orang berikutnya yang akan aku rahakan dengan senjata ini, jadi sebaiknya kamu mengambil keputusan baik-baik. Jangan sampai hanya karena ingin menyelamatkan satu orang pria, kau harus kehilangan mereka semua.” Ucapnya pria itu sembari membersihkan senjata yang tidak kotor sama sekali.
Yani menekan kepalanya dengan sangat kuat di lantai karena otaknya kosong dan tidak bisa menentukan pilihan dengan baik. Dia menangis dalam diam karena merasakan ketakutan yang sangat besar dalam dirinya.
“Sekarang, tentukan pilihanmu. Ibumu atau pria itu, jika kau masih terus berdiam diri maka kau takkan segan melakukan hal yang sama dengan apa yang terjadi pada ayahmu.” Ancam pria itu dengan menarik keluar kepala Yani yang tertunduk.
“Yani, jangan pernah mengikuti apa yang dikatakan oleh pria itu. Apapun yang kau pilih saat ini tetap tidak akan bisa menyelamatkan kita semua.” Ibunya yang sedikit tersadar karena suara tembakan yang memekakkan telinga sebelumnya segera memperingatkan Yani.
“Diam kau!” pria itu segera berdiri dan mendekati ibunya yang kemudian menarik rambutnya dengan sangat kasar dan mendaratkan senjata pistolnya ke wajah ibu Yani.
“Sepertinya kau memang sangat mencintai laki-laki itu dibandingkan dengan keluargamu sendiri. Kalau begitu, bagaimana dengan sedikit peringatan kecil lagi dariku.” Dia kemudian melirik pada pengawalnya dengan memberikan kode yang tidak di mengerti oleh Yani.
Pengawal tersebut ternyata bergerak menuju kepada Adiknya dan mulai mencekoki adiknya dengan obat-obatan yang bisa dipikirkan oleh Yani kalau obat tersebut adalah narkoba.
“Lepaskan! Lepaskan Adikku! Lepaskan dia!!!” teriak Yani berdiri dan berusaha melawan namun dia di tahan oleh kedua pengawal pria tersebut.
“Sekarang tentukan pilihamu. Jika kau tidak ingin aku menyuruh mereka untuk memperkos adikmu di hadapan matamu sendiri” Ucapnya lagi sembari melemparkan handphone miliknya kepada Yani.
Yani terjatuh dan pasrah. Dia berlinangan air mata dan dadanya semakin sesak menyaksikan semua yang terjadi pada ibu dan adiknya. Dia akhirnya mengambil handphone itu secara perlahan-lahan dan mulai menatap telepon itu dengan nafas yang berat.
“Yani, selamatkan dirimu. Jangan hiraukan ibu, ibu sudah tidak sanggup lagi bertahan lebih lama. Kau tidak bisa melibatkannya dengan apa yang sudah terjadi dalam keluarga kita.” Ibunya yang tersenyum membuat Yani kebingungan dan tak tahu apa yang dilakukan oleh ibunya, namun kemudian ibunya berusaha bangkit dan mencoba untuk merebut senjata pintol yang berada di tangan pria itu.
Dengan seluruh sisa tenaga yang ada pada dirinya, dia terus berusaha melawan membuat pria itu kesulitan karena tangan ibu Yani tak mau lepas dari tangannya.
“Ma, hentikan! Aku akan menyelamatkan kita semua, hentikan itu.” Teriak Yani mencoba menghentikan ibunya, namun suara tembakan kembali terdengar dengan sangat kencang.
Mata Yani terbuka dengan lebar dan menyaksikan kalau ibunya lah yang perlaha-lahan terjatuh dengan tersenyum begitu Bahagia. Bagi ibunya, kepergian dirinya adalah hal terbaik untuk dapat meringankan beban Yani untuk selama-lamanya.
“Hiduplah dengan Bahagia.” Itulah kalimat terakhir yang sempat keluar dari bibir ibunya sebelum benar-benar menutup mata untuk selamanya.
Yani berteriak dengan histeris sekencang-kencangnya melihat ibunya yang sudah tertembak tepat di bagian dadanya hingga Yani tak sadarkan diri.