Jenius Yang Nakal - Chapter 518
“Kamu sudah bangun?” tanya Alisya kepada Yani yang tampak terbangun dari tidurnya.
Yani hanya mengangguk pelan dan tak menjawab, dia melihat kepada Alisya dengan wajah penuh pertanyaan sebab tempat sesaat sebelum ia tertidur kini sangat jauh berbeda dengan tempat setelah ia terbangun dari tidurnya.
“Kita di pesawat!” ucap Alisya dengan nada lembut kemudian terduduk di sebelah Yani. Mendengar apa yang dikatakan oleh Alisya, Yani dengan seketika meronta melopmpat dari atas kasurnya.
Yani menggeleng dengan sangat kencang seolah ia tak ingin pergi. Dia tidak ingin meninggalkan ibu dan adiknya sehingga ia tampak sangat marah kepada Alisya, yang kemudian tampak melarikan diri mencari tempat untuk keluar.
“Yani, dengarkan aku dulu!” Tarik Alisya yang hanya di tepis oleh Yani dengan penuh amarah.
“Yani! Hentikan, apa yang kau lakukan?” Alisya terus berusaha menghentikan Yani yang tampak meronta dalam diam terus menyusuri kabin pesawat pribadinya yang sedikit membuat Alisya panik dengan tingkahnya.
Rinto dan yang lainnya segera mendatangi sumber suara keributan, dan menemukan Alisya yang sudah mendekap Yani yang akan membuka pintu itu dengan terburu-buru. Alisya bisa saja membuatnya terdiam, tapi dia sengaja membiarkan Yani melampiaskan amarahnya karena sudah membawa dirinya pergi tanpa meminta izin terlebih dahulu.
“Apa yang terjadi? Mengapa dia sampai semarah ini?” tanya Rinto melihat Yani yang memberontak dalam diam. Tatapan matanya hanya tertuju pada pintu pesawat tersebut, yang kemudian membuat Alisya memeluknya dengan erat.
“Maafkan aku! Aku minta maaf karena sudah membawamu tanpa Izin, Maafkan aku!” suara lembut Alisya yang terdengar begitu tulus membuat ia sejenak melemah dan luluh. Meski ia sangat marah saat ini, tak ada hal yang bisa ia lakukan selain memukul Alisya dan mendorongnya hingga jatuh.
Tatapan Yani yang penuh kebencian membuat hati Alisya sedikit pedih, namun ia berusaha untuk memaklumi dirinya. Karena dialah yang salah dan memang seharusnya meminta izin darinya terlebih dahulu sebelum membawanya, namun jika ia melakukan hal tersebut pun, tentu saja ia takkan mendapatkan izin dari Yani.
Yani yang terdiam membatu tak menyangka kalau ia sudah mendorong Alisya dengan cukup keras akhirnya kembali ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya. Rinto hanya melihat dengan tatapan sedih apa yang sedang terjadi.
“Kau baik-baik saja?” Karin datang menghampiri Alisya yang terjatuh di bawah.
“Aku baik-baik saja. Setidaknya amarah yang dia keluarkan memang semua karena salahku!” ucap Alisya tersenyum dengan kecut. Bukan karena merasa sedih dengan apa yang dilakukan oleh Yani padanya, namun karena melihat Yani begitu marah ketika mengetahui mereka sedang berada di atas pesawat saat ini.
“Tidak apa-apa, ini hanya masalah waktu sampai ia benar-benar tenang dan bisa menerima semua ini. Kedepannya kalian akan sedikit kesulitan saat menanganinya, tapi aku harap kalian tidak akan menyerah karena saat ini ia akan sangat rentan terhadap beberapa hal.” Terang Karan menyemangati mereka semua agar menjadi lebih bersabar dalam menghadapi Yani.
“Sebentar lagi kita akan sampai, aku tak yakin dia akan membukakan kita pintunya atau tidak. Tapi sebaiknya untuk berjaga-jaga aku akan menyediakan kunci akses agar kita bisa masuk meski ia telah menguncinya dari dalam.” Ucap Ryu segera mencari kunci akses kamar yang sedang di tempati oleh Yani.
“Aku ingin mencoba untuk membujuknya, tapi sepertinya akan susah jika dia masih dalam keadaan marah seperti ini.” Ucap Rinto dengan wajah yang terlihat begitu khawatir kepada Yani.
“Untuk saat ini sebaiknya kita biarkan dia sendiri saja dulu. Berikan dia waktu untuk berpikir dan menenangkannya, dan saat kita sudah sampai aku akan sangat berharap kau pergi membujuknya.” Tepuk Alisya pada Pundak Rinto dengan penuh rasa kepercayaan padanya.
Beberapa jam kemudian, mereka sudah sampai sekitar lima belas menit yang lalu. Karena tak ingin mengganggu Yani, mereka terpaksa menunggu sedikit lebih lama agar Yani bisa lebih tenang dan nyaman terlebih dahulu.
“tok.. tok… tok…” Yani mendengar suara ketukan dari pintu kamarnya, namun Ia masih tak ingin membuka pintu kamarnya.
“Ummm Yani, maukah kau membuka pintu kamarmu?” ucap Rinto dengan suara yang lembut membuat Yani hanya menoleh sebentar, namun masih belum bergeming dari tempatnya.
“Aku tau saat ini kamu marah kepada Alisya karena sudah membawamu ke Jepang tanpa se izin darimu, tapi setidaknya kau mau mendengarkan penjelasannya dulu. Dia hanya ingin agar kau tidak terus tenggelam dalam kesedihanmu seperti itu.” Lanjut Rinto lagi tak menunggu jawaban dari Yani, karena ia yakin Yani saat ini sedang mendengar dirinya.
“Selain itu, aku punya sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu. Tapi sebelum itu, maukah kau membuka pintumu?” tanya Rinto sekali lagi dengan mengetuk dua kali pintu kamarnya.
Di tangannya dia sudah memiliki kunci akses ruang kamar Yani, namun ia memilih untuk membujuknya terlebih dahulu karena tak ingin ia semakin marah dan memberontak kepada mereka semua. Rinto hanya ingin menyelesaikannya dengan baik-baik agar baik dirinya maupun Yani bisa saling memahami satu sama lainnya.
“Apakah kau akan tetap tak ingin berbicara denganku meski ini ada hubungannya dengan ibumu? Aku ingin menunjukan pesan yang dulu ibumu sampaikan padaku sewaktu aku mengunjunginya. Maukah kau melihat dan mendengarnya?” Rinto yang menyebutkan ibunya membuat Yani langsung terkejut tak percaya.
Dia dengan ragu-ragu karena mengira kalau Rinto mungkin saja membohonginya hanya agar dia membukakan pintu kamarnya tersebut, pada akhirnya tetap membuka pintu kamarnya karena merasa sangat penasaran.
“Aku serius, aku takkan mungkin membohongimu untuk hal seperti ini.” Melihat Yani yang memadanginya dengan penuh ancaman saat membuka pintu membuat Rinto paham akan maksud dari ekspresi tajam yang di lemparkan Yani ke arahnya.
Melihat Rinto tak terlihat berbohong, Yani akhirnya membuka pintunya dengan sedikit lebih lebar dan membiarkan Rinto masuk. Tepat saat Rinto akan membuka mulutnya, Yani kembali menatapnya dengan tajam seolah menyuruhnya untuk tidak berbasa-basi lagi.
“Baiklah, aku takkan mengatakan apapun lagi, tapi tolong lihatlah rekaman ini terlebih dahulu.” Rinto segera mengeluarkan sebuah alat yang langsung memperlihatkan gambar hologram yang memperlihatkan wajah ibu Yani disana.
Melihat itu Yani langsung menekan dadanya dengan sangat kuat. Tampak jelas kalau gambar itu di ambil tanpa sepengetahuan ibunya.
“Maaf aku merekamnya tanpa sepengetahuan dirinya, namun karena melihatnya sangat ingin menyampaikan hal ini kepadamu membuatku lebih memilih untuk merekamnya secara langsung. Ini pun adalah ide dari adikmu, dia yang berbisik padaku untuk merekam apa yang akan di katakan oleh ibumu karena merasa hal tersebut akan menarik.” Terang Rinto menjelaskan mengapa ia bisa memiliki rekaman ibunya tersebut.