Jenius Yang Nakal - Chapter 534
Rumah Akiko sangat mewah dan cukup luas, setelah melewati lorong rumah yang cukup Panjang, sampailah Karan pasa satu ruangan keluarga yang juga tak kalah luasnya. Di dalam sudah ada Ayah dan Ibu Akiko, yang pertama terkejut melihat kedatangan Karan adalah Ayah Akiko.
Setelah terkejut sebelumnya, Ayah Akiko masih terus memasang wajah yang kaku dan terlihat kejam. Tatapan matanya tajam serta keningnya berkerut dengan terus menatap lurus ke arah Karan. Merasa belum cukup untuk memperkenalkan dirinya, Karan melihat kepada ibu Akiko dan mengulang kembali untuk kedua kalinya.
“Perkenalkan, nama saya Karan Reynand.” Ucap Karan dengan tertunduk sopan.
“Oh Iya, selamat datang. Aku panggil Karan saja boleh?” ucap ibu Akiko dengan tersenyum ramah kepada Karan. Senyuman ibu Akiko sedikit membuat hati Karan menjadi lebih hangat dan nyaman.
“Tentu saja!” jawab Karan dengan sangat cepat dengan senyuman ramahnya yang sangat mempesona.
“Terima kasih. Saya adalah ibu dari Akiko. Kamu panggil tante juga boleh, tapi aku lebih suka kau memanggiku ibu Yurie, karena itu akan lebih asik.” Ibu Akiko terus tersenyum hangat kepada Karan mencoba untuk terus bersikap ramah padanya.
“Nah yang muka seram ini adalah Ayahnya. Kalau dia tidak perlu sungkan, panggil saja Om juga boleh kok.” Tunjuk Ibu Akiko kepada Ayah Akiko.
“Tak ku sangka sikap Ayah Akiko sangat tegas. Apa yang harus aku lakukan pada tatapan matanya yang tajam, rasanya jantungku sudah di tembus oleh sinar matanya tersebut.” Batin Karan dengan tersenyum canggung kepada Ayah Akiko.
“Tidak usah sungkan, duduk saja dulu.” Tegasnya dengan suara dingin.
“Terima kasih.” Ucap Karan cepat dan langsung terduduk di lantai dengan menghadap keduanya dengan tegap. Karan duduk dengan kaki yang terlipat kebawah dan kedua tangan yang berada di bagian kedua pahanya sebagai adab seorang tamu yang sedang berhadapan dengan kedua orang tua.
“Jangan begitu dong Yah. Kalau cara bicaranya kayak gitu, Karan jadi takut nanti.” Ibu Akiko segera membuat sedikit saran kepada Ayah Akiko yang memang terlihat sedang memasang tameng yang sangat tebal di antara mereka.
“Begitu yah…” ucapnya masih dengan ekspresi dinginnya.
“Kelihatan sekali kalau dia tidak senang. Apa karena aku adalah kekasih Akiko atau karena hal lain?” Karan sedikit bingung menerjemahkan ekspresi Ayah Akiko terhadapnya. Meski sebenarnya ia sudah tahu kalau Ayahnya mungkin saja akan memperlihatkan ekspresi itu karena kejadian sebelumnya, Karan tetap saja tak menyangka kalau ia akan menunjukkannya secara terang-terangan di hadapan Akiko.
“Apalah itu, aku akan berusaha untuk tetap bersikap dengan sangat sopan.” Batin Karan memantapkan tekadnya.
“Maaf, mungkin ini tidak seberapa. Tapi silahkan di nikmati…” Karan segera memberikan sebuah bingkisan yang sudah jauh hari ia persiapkan sebelum datang ke Jepang.
Bingkisan itu tidak hanya berupa makanan ringan khas dari Indonesia seperti gorengan jambu mete, Karan juga menyimpan sepasang baju batik yang sangat mewah di dalam bingkisan yang dibawanya tersebut.
“Wah, Terima kasih. Aduh Karan, pakai bawa oleh-oleh segala. Baik deh!” ucap ibu Akiko mengambil bingkisan dari tangan Karan dengan tersenyum lebar karena senang.
“Aku langsung buka, Ya. Akiko! Bisa bantu siapkan teh?” pintu ibunya kepada Akiko yang sedari tadi berdiam diri dibelakang Karan.
“Baik! Kak Karan santai saja yah.” Ucap Akiko dengan hangat kepada Karan.
Melihat perlakuan Akiko kepada Karan membuat kerutan di kening Ayah Akiko semakin jelas terlihat.
“Kalian sudah se dekat itu?” suara dingin dan berat Ayah Akiko segera membuat Karan dan Akiko kaget dan memerah malu.
“Te… Tentu saja!” ucap Akiko dengan sedikit gugup.
Akiko dan ibunya segera pergi menuju ke dapur. Melihat keduanya berlalu pergi, mereka terlihat seperti adik dan kakak dibandingkan dengan ibu dan anak. Ayah Akiko dan Karan hanya terus terdiam karena takt ahu apa yang harus mereka katakan, hingga membuat Karan semakin gugup dan bingung dibuatnya.
“Pilihan Akiko ternyata mantap juga nih. Selain tampan, dia juga sangat sopan.” Ucap ibu Akiko datang membawa sepiring kue bersama Akiko yang membawa dua cangkir teh.
“Ah ibu, kalau ibu berbicara dengan sekeras itu Karan jadi dengar.” Akiko langsung memerah malu karena pujian ibunya yang secara terang-terangan.
“Yah, nggak masalah kan? Toh ibu tidak bohong kok!” ucap ibunya terus menggoda Akiko.
“Tuh.. kamu di puji-puji.” Ucap Akiko dengan sedikit lirikan nakal kepada Karan.
“…” Karan hanya bisa terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Akiko.
“Bagaimana aku harus berekasi dengan hal itu?” Batin Karan bingung. Akiko yang duduk di sebelah Karan tampak ingin mengerjai Karan.
“Ngomong-ngomong Karan…” Ayah Akiko mencoba untuk memulai percakapan dengan Karan.
“Iya, ada apa?” tanya Karan cepat.
“Aku dengar kau dan Akiko menjalin hubungan…” ucap Ayah Akiko masih dengan suaranya yang dingin dan ekspresinya yang tak melunak sedikitpun.
“Iya benar, dan tahun ini saya berniat untuk menikahi Akiko jika kalian berdua mengizinkannya.” Karan tidak lagi berbasa-basi ketika mendengar pernyataan ayah Akiko.
“Ayah, aku kan sudah menceritakan hal itu kemarin.” Akiko terlihat sedikit protes dengan sikap ayahnya kepada Karan.
“Tidak masalah kan? Lagi pula ayah rasa akan lebih baik jika mendengarnya langsung dari orangnya.” Tegas Ayah Akiko melipat kedua tangannya.
“Sepertinya Ayah Akiko tidak terlalu pandai berkomunikasi dengan orang lain, khususnya jika itu adalah orang yang sedang meminta anaknya saat ini.” Batin Karan sembari terus memperhatikan Ayah Akiko.
“Karan, sebaiknya kamu yang mengajaknya berbicara lebih dahulu. Ayah Akiko pada dasarnya adalah orang yang cukup pendiam, jadi orang mengira dia agak susah untuk di ajak berbicara.” Terang ibu Akiko mencoba untuk mencairkan suasana.
Saat Karan melirik ke arah Ayah Akiko, terlihat betul ekpresi yang kerepotan akibat pernyataan ibu Akiko. Karan merasa ada sedikit kemiripan di antara mereka berdua, meski Karan orang yang hangat. Dia kadang bisa bersikap kaku.
“Kalau begitu, silahkan diminum tehnya, biar kalian tidak terlihat gugup seperti ini. Ini teh hijau, kamu tidak masalah kan?” Ucap ibu Akiko dengan tertawa pelan melihat Karan dan Suaminya yang terlihat gugup.
“Nggak apa-apa kok. Ryu suka dengan teh hijau.” Jawab Akiko dengan ceria.
“Ibu tahu kamu senang, tapi ibu bertanya pada Karan.” Goda ibunya kepada Akiko.
“Apa terlihat jelas?” tanya Akiko dengan memegang kedua pipinya yang langsung membuat keduanya tertawa dengan riuh.
“Oh iya. Karan, kalau ibu bertanya tidak masalah kan?” tanya ibu Akiko dengan tatapan serius.
“Iya, silahkan.” Seru Karan dengan ramah.
“Antara kamu dan Akiko, siapa yang menembak lebih dahulu?” pertanyaan ibu Akiko segera membuat Akiko terkejut, begitu pula dengan ayahnya.