Legenda Dewa Harem - Chapter 406
Mendengar kata-kata itu, boneka ginseng itu hanya menatapnya dengan diam.
“Aku tidak meminta banyak kok, cuma 5 tetes, iya 5 tetes saja! Bagaimana menurutmu?” Kata Randika sambil tersenyum. Melihat boneka ginseng itu tidak menjawab, dengan cepat Randika menambahkan. “Maksudku 4 tetes, tidak, 3 tetes! Tiga tetes cukup kok.”
Masih tidak ada jawaban, Randika menggertakan giginya. “Baiklah, satu tetes saja… satu tetes dan aku akan memberikanmu banyak makanan seperti ini.”
Pada saat ini, boneka ginseng terlihat bereaksi, tetapi setelah beberapa saat, dia menatap bungkus makanan itu dan memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap Randika lagi.
Sialan, jual mahal!
Randika dengan cepat berkata dan memohon sekali lagi. “Ayolah, jangan pelit-pelit begitu. Bukankah aku pernah menyelamatkanmu? Aku cuma meminta satu tetes saja kok.”
Boneka ginseng itu memalingkan wajahnya lagi dan Randika dengan cepat berdiri di hadapannya. “Ayolah, aku benar-benar butuh darahmu agar sembuh. Kalau tidak aku bisa-bisa mati, kamu tidak ingin melihatku seperti itu kan?”
Boneka ginseng ini meliriknya dari sudut. Ia lalu mengulurkan tangan putihnya itu dan membuat ekspresi wajah yang kesakitan. Tiba-tiba, setitik darah berwarna putih keluar dari tangannya.
Randika dengan cepat menjadi bergembira, dia langsung mengambilnya dan menelannya.
Ketika darah putih itu memasuki tubuhnya, dia dapat merasakan bahwa darah boneka ginseng itu melebur menjadi satu dengan tenaga dalamnya dan meredakan luka di dalam tubuhnya.
Randika menutup matanya dan mulai menyebarkan tenaga dalamnya. Kekuatan misterius di dalamnya berusaha untuk melawan tetapi dengan adanya bantuan dari darah boneka ginseng, tenaga dalam Randika berhasil mengatasinya dan menekan kekuatan misterius di dalam tubuhnya.
Randika merasa sangat senang karena bisa mengontrol tenaga dalamnya sekali lagi. Setelah beberapa saat, Randika membuka matanya. Dia benar-benar senang dengan dampak yang diberikan oleh darah dari boneka ginseng ini.
Randika tersenyum lebar dan menatap boneka ginseng yang sedang memakan keripik kentang itu. Namun, pada saat ini, boneka ginseng itu sudah menghabiskan sebungkus keripik kentang itu dan meloncat kembali ke pundak Indra dan mencueki Randika.
Randika hanya bisa garuk-garuk kepala. Awalnya dia ingin meminta setetes darah lagi, tetapi boneka ginseng ini benar-benar pelit.
“Nak, apakah kamu lapar?”
Pada saat ini, Ibu Ipah memasuki ruang tamu. Sebelumnya dia mendengar suara Randika jadi dia memutuskan untuk keluar. Tetapi ketika dia melihat sosok Randika, Ibu Ipah cukup terkejut melihat Indra dan boneka ginseng di pundaknya.
“Ibu, ini adikku, namanya Indra. Kalau yang ada di pundaknya, Ibu Ipah pernah melihatnya bukan.” Kata Randika sambil tersenyum.
“Siang Ibu Ipah.” Indra memberikan sebuah sapaan hangat.
“Karena orang ini adalah adik Nak Randika, berarti dia juga keluarga!” Jawab Ibu Ipah sambil tersenyum hangat. Pada akhirnya, dia masih tidak tahu identitas asli Randika dan dia berniat untuk mencari tahu. Selama Randika bisa membahagiakan nona mudanya, itu sudah cukup bagi Ibu Ipah.
“Nak, apakah kalian berdua lapar? Apa ada makanan yang ingin kalian makan?” Tanya Ibu Ipah.
Mendengar hal ini, tatapan mata Indra berbinar-binar yang membuat Randika sedikit malu.
“Makanlah kalau kamu mau, tidak perlu menunggu ijinku.” Randika hanya bisa menghela napas.
“Iya bu, aku lapar.” Kata Indra sambil mengangguk.
“Baiklah kalau begitu, tunggulah sebentar ya akan ibu masakkan sesuatu.” Ibu Ipah lalu berjalan menuju dapur.
“Ibu, aku sarankan masak nasi yang lebih banyak, adikku ini kuat makan.” Kata Randika.
“Baiklah, serahkan semuanya pada ibu!” Ibu Ipah tersenyum.
Tidak lama kemudian, akhirnya makanan telah siap. Pada saat ini, waktu hampir menunjukan pukul lima sore. Tepat sebelum jam makan malam, Inggrid telah kembali.
“Ran, apa kamu sudah diperbolehkan pulang?” Melihat sosok Randika, Inggrid tersenyum dan senang.
“Aku tidak peduli dengan kata dokter, aku sudah tidak mau lagi dipisahkan denganmu! Aku benar-benar merindukanmu!” Kata Randika sambil menggoda.
Mendengar kata-kata manis ini, Inggrid tersipu malu.
“Nona, kamu datang tepat waktu! Mari kita makan bersama.” Ibu Ipah dengan cepat menyiapkan piring untuk Inggrid.
Dengan begitu, keempat orang, termasuk Ibu Ipah, makan bersama dengan lahap. Sebelum makan, Randika memperkenalkan Indra pada Inggrid.
“Dia ini murid dari kakekku, jadi bisa dikatakan bahwa dia adalah adik seperguruanku.” Kata Randika pada Inggrid. Indra yang sibuk mengunyah itu sama sekali tidak memperhatikan Randika. Akhirnya setelah dipukul pelan oleh Randika, Indra mengangkat kepalanya dan menatap Inggrid. Dia lalu berkata dengan mulut penuh nasi. “Sore kakak ipar.”
Kakak ipar?
Randika terkejut sekaligus cukup senang, dia tidak menyangka Indra akan sepeka itu.
Inggrid tersenyum, tetapi samar-samar ada rasa malu di wajahnya.
“Kak, aku ingin mencari pekerjaan kali ini.” Kata Indra.
Randika berpikir sebentar dan mengangguk. “Baguslah kalau begitu, dengan ini kamu juga bisa jadi mandiri. Bagaimana kalau bekerja menjadi petugas keamanan? Aku yakin kamu cocok.”
“Sayang, apakah perusahaanmu itu butuh tenaga lagi? Adikku ini benar-benar cocok, aku yakin tidak akan ada penjahat lagi yang berani macam-macam dengan perusahaanmu!” Kata Randika sambil tertawa.
“Memangnya aku bisa mencegahmu untuk tidak melakukannya?” Inggrid terlihat marah sesaat, tetapi dia tidak menolak ide Randika. Bagaimanapun juga, dia adalah istri Randika jadi perusahaannya adalah milik Randika juga.
“Aku hanya khawatir bahwa nyonya Inggrid menolak ideku ini.” Randika tersenyum.
Setelah makan malam yang harmonis ini selesai, Ibu Ipah bertanya. “Nak, apakah adikmu ini ada rumah untuk ditinggali?”
“Belum ada, besok aku akan mencarikannya rumah sewa.”
Randika awalnya ingin menyarankan Indra untuk tinggal di rumahnya ini tetapi dia langsung membungkam mulutnya rapat-rapat. Permasalahan utamanya adalah Randika tidak ingin waktu berduanya dengan Inggrid terganggu lebih jauh lagi. Ketika Ibu Ipah dan Hannah tidak ada, Randika harus memanfaatkan waktu itu dengan baik dan melakukan hubungan romantis dengan istrinya.
“Kalau begitu serahkan pada ibu, kebetulan ada kenalan ibu yang punya rumah untuk disewakan dekat sini.” Kata Ibu Ipah.
“Baiklah kalau begitu, terima kasih ya bu.” Randika tersenyum.
Kemudian, Indra berdiri dan mengikuti Ibu Ipah untuk segera mengunjungi rumah sewanya itu.
Ketika kedua orang itu pergi, Randika benar-benar senang. Dengan cepat, dia duduk di samping Inggrid dan memeluknya. Tangannya mulai bergerak dan mulutnya mulai mengunci mulut Inggrid dengan rapat.
“Ah!”
Inggrid mendesah pelan karena serangan mendadak Randika ini. Setelah beberapa menit, akhirnya Inggrid bisa lepas dari ciuman maut Randika. “Mandi dulu sana.”
“Mandi bisa nanti, toh kita akan berkeringat.” Kata Randika.
“Tidak mau, kamu sudah seminggu lebih di rumah sakit, bau badanmu kurang enak.” Kata Inggrid dengan wajah marah.
“Sudah, tidak usah terlalu memikirkan hal yang terlalu detail.” Randika sudah mulai mencopoti baju Inggrid, tidak lupa dia memberikan kecupan hangat di leher.
“Tidak mau!” Inggrid membalasnya dengan nada dingin sambil memalingkan wajahnya.
“Bagaimana kalau sesudah mandi?” Randika masih bermain dengan tubuh Inggrid. Setelah beberapa saat diserang oleh Randika, tubuh Inggrid sudah mulai terangsang.
“Setelah mandi kamu bebas melakukan apa pun.” Kata Inggrid dengan malu di telinga Randika.
Mendengar kata-kata itu, Randika tersenyum lebar. “Kalau begitu tunggulah aku sebentar, aku sudah mempersiapkan baju yang tepat untuk kita! Aku tidak sabar melihatmu memakai baju perawat.”
Sejak roleplay bersama Inggrid beberapa kali, Randika mulai menyukai permainan seperti itu. Terlebih lagi, Randika sudah membeli beberapa lingerine sexy untuk Inggrid.
Meskipun Inggrid malu-malu, dia tetap memakai apa yang diberikan oleh Randika. Melihat sosok perempuan dewasa yang angkuh itu patuh terhadap dirinya, ini membuat Randika makin terangsang dan bersemangat.
“Sudah mandi sana.” Kata Inggrid dengan wajah yang merah.
Randika dengan cepat mandi dan keramas, sepertinya malam hari ini ditakdirkan menjadi malam yang penuh gairah.
Pada hari di mana dia pulang dari rumah sakit, kasur Randika dan Inggrid harus menerima takdirnya bahwa kedua pasangan ini tidak akan tidur malam hari ini. Setelah beberapa permainan dan foreplay, akhirnya mereka memasuki babak utama.
“Hei, pelan-pelan sedikit!” Kata Inggrid.
“Sayang, aku benar-benar sudah tidak sabar.” Kata Randika sambil mencium Inggrid dan sambil terus menggoyangkan pinggangnya.
“Hari ini aku tidak akan berhenti sebelum 300x!”