Nuansa - Chapter 100
Satpam Reynand kembali pada Arfan dengan membawa segelas air putih, dia membantu Ayahnya Nuansa itu untuk meminum air putih tersebut. Sang Satpam lantas melirik ‘luka’ Arfan yang dirasanya agak aneh.
“Tuan, sepertinya pisaunya menancap dalam sekali, saya takut kalau dibiarkan menancap sedalam itu akan mengakitbatkan masalah lain,” ucap Satpam Reynand pada Arfan.
“Tidak, ini tidak apa-apa, justru hanya akan menimbulkan masalah jika dicabut,” ujar Arfan.
“Tapi bolehkah saya melihatnya dulu? Pisaunya tampaknya tertancap semuanya ke luka Anda, jika ukurannya kecil tak masalah, tapi jika cukup besar saya takut akan sangat berbahaya.”
“Polisi akan datang sekitar setengah jam lagi,” Satpam Juna menyela Satpam Reynand yang sedang berbicara dengan Arfan.
“Tangkap perempuan itu, setengah jam itu cukup lama, kita tidak bisa membiarkannya berkeliaran dengan bebas di sini,” kata Satpam Reynand.
“Baiklah.”
“Tidak, jangan,” Arfan berusaha menahan Satpam Juna untuk tidak mengejar Nuansa, dan secara tidak sengaja Satpam Reynand melihat ‘luka’ yang ditutup oleh Arfan karena pergerakan Arfan sendiri yang berusaha membuat Satpam Juna tidak menyusul Nuansa.
Satpam Reynand menyadari bahwa Arfan sama sekali tidak terluka, dan kontan saja dia terkejut melihat hal itu.
“Tuan, luka Anda …” ujar Satpam Reynand pada Arfan, Arfan pun langsung menyadari bahwa dia sudah ketahuan.
Dengan cepat, Arfan memukul Satpam Reynand hingga tersungkur ke tanah, dia kemudian memecahkan gelasnya yang sudah kosong.
Melihat hal itu, Satpam Juna tentu saja ingin bergerak membantu Satpam Reynand yang sudah ditahan oleh Arfan.
“Diam di tempatmu atau akan aku potong telinga dia,” Arfan mengancam Satpam Juna dengan pecahan gelas yang cukup besar sebagai senjatanya.
“Sialan kau,” umpat Satpam Reynand pada Arfan.
“Jangan dengarkan dia! Pergi kejar perempuan itu!” sambung Satpam Reynand.
Satpam Juna pun merasa bingung harus melakukan apa.
“Pergi! Pria tua ini tidak akan berani melakukan apapun! Percayalah!” ucap Satpam Reynand sekali lagi. Arfan bukannya diam begitu saja, dia menempelkan pecahan gelas yang sedang dipegangnya ke telinga Satpam Reynand, tetapi mengejutkan, Satpam Juna memilih untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Satpam Reynand.
“Hei!” teriak Arfan.
“Diam kau!” Satpam Reynand meneriaki Arfan.
“Sial!” gerutu Arfan.
“Dugaanku benar, kau tidak berani melakukan apapun padaku,” ujar Satpam Reynand.
“Kau hanya bisa mengancam,” lanjutnya. Sebisa mungkin, Arfan tidak kehilangan kendali dan menjadi emosi, dia tidak mau melukai siapapun, ini hanya ancaman, tetapi jika emosinya terpancing, maka bisa saja dia melakukan hal nekat tersebut.
***
Sementara itu, di lantai 2 rumah Emma, gagang pintu kamar Emma mulai ditekan dari dalam, Nuansa kemudian memutuskan untuk berdiri bersandar di dinding saja karena ia tidak tahu lagi harus bersembunyi di mana. Keputusan Nuansa ternyata sangat tepat, sebab Emma benar-benar tidak melihatnya saat keluar dari dalam kamarnya, karena Emma langsung menghadap ke kanan dan pergi ke arah kanan, sementara Nuansa bersandar pada dinding sebelah kiri dari pintu kamar Emma.
Setelah Emma turun, Nuansa yang tadinya benar-benar seperti orang yang terkena serangan jantung pun merasa lega, dia lantas masuk ke dalam kamar Emma dan menyalakan lampu kamar tersebut, tentu saja kemudian dia langsung membongkar isi kamar itu.
“Jadi dia menyimpan rekaman itu di mana?” gumam Nuansa.
“Masa bodohlah, aku akan ambil semuanya yang aku curigai sebagai tempat dia menyembunyikan rekaman asli itu,” sambungnya.
Nuansa lantas mengambil ponsel, laptop, flashdisk, hardisk, dan semua kartu memori Emma, dan dia menaruh semua itu ke dalam tas Emma. Nuansa berhasil mengumpulkan semua itu hanya dalam waktu 100 detik saja, dia bergerak sangat cepat untuk menggeledah isi kamar Emma dan mendapatkan semua itu.
Setelahnya, Nuansa memastikan bahwa tidak ada lagi flashdisk atau apapun itu yang belum dia ambil, dan dia lalu memutuskan untuk keluar dari dalam kamar itu dalam keadaan kamar yang sangat berantakan.
Ketika membuka pintu kamar Emma, Nuansa terkejut setengah mati sebab tiba-tiba Emma berada di depannya sambil mengarahkan sebuah pisau tajam ke arah wajahnya. Ternyata dugaan Nuansa salah, Emma menyadari keberadaannya saat dia keluar dari dalam kamar tadi. Itu artinya, Emma hanya berpura-pura tidak melihat Nuansa.
“Siapa kau?” tanya Emma pada Nuansa yang memang tidak bisa dikenali dengan tampilannya tersebut.
Nuansa lantas memukul tangan Emma hingga membuat pisau yang dipegang Emma terjatuh, saat itu juga Nuansa berusaha untuk langsung lari, tetapi tentu saja tidak semudah itu, Emma menahan tubuhnya dan menjatuhkannya ke lantai.
Namun, Nuansa tidak lantas menyerah begitu saja. Saat terjatuh, Nuansa langsung menarik Emma sehingga dia terjatuh juga, dan Nuansa pun akhirnya memiliki kesempatan untuk lari.
“Hei! Kembali kau!” teriak Emma yang gagal menahan Nuansa, dia lalu mengambil pisaunya dan mengejar Nuansa yang berlari sekencang-kencangnya.
Saat sampai di pintu depan, Nuansa berpapasan dengan Ihih yang baru saja akan masuk. Ihih hanya bisa mematung saat melihat Nuansa, dan kesempatan itu pun digunakan Nuansa untuk melaju terus.
“Bibi! Kejar dia!” seru Emma pada Ihih, tetapi tentu saja sudah terlambat, Nuansa sudah lolos.
Begitu sudah berada di luar, Nuansa melihat Satpam Juna yang sedang berbicara dengan Wan, tampaknya Satpam Juna sedang bertanya-tanya kenapa Wan lari, dan langsung saja Nuansa menambah kecepatan berlarinya, sebab ini adalah kesempatan emas baginya untuk bisa lolos dari Satpam Juna, dan benar saja, dia lolos.
“Hei!” teriak Satpam Juna pada Nuansa, di detik itu juga Wan langsung berlari juga karena Satpam Juna lengah.
“Sialan!” umpat Satpam Juna.
***
Begitu berhasil sampai di pos Satpam, Nuansa langsung masuk ke dalam salah satu pos untuk mencari sebuah kunci motor, dan dia langsung mendapatkannya pada saat dia baru saja melihat ke dalam. Gadis itu lantas menyalakan salah satu motor Satpam.
“Ayah! Ayo!” Nuansa mengajak Arfan untuk pergi.
“Apa yang kau lakukan?! Kau tidak pernah belajar membawa motor!” seru Arfan.
“Tidak ada waktu lagi! Ayo!”
Arfan lantas memilih untuk tidak berdebat dengan sang putri, karena Nuansa benar, tidak ada waktu lagi. Arfan pun kemudian naik ke atas motor dan dibonceng oleh Nuansa.
Satpam Reynand lalu bangkit dan berusaha mengejar mereka.
‘Kuharap ini sama seperti dengan membawa mobil,’ batin Nuansa yang kemudian menjalankan motor tersebut secara perlahan, tapi makin lama makin kencang, dan Satpam Reynand pun gagal mengejar Nuansa dan Arfan.
Namun tetap saja, karena baru pertama kali membawa motor, Nuansa masih sangat buruk, dia tidak bisa menyeimbangkan setang dan membawa motornya terlalu kencang.
“Pelan-pelan! Pelan-pelan!” seru Arfan yang panik.
“Ini sudah bagus untuk orang yang tidak pernah membawa motor, Ayah!” teriak Nuansa.
“Menurutmu kita berhasil lolos?!”
“Tentu saja!”
“Kalau begitu biarkan Ayah yang membawa motornya! Karena setidaknya Ayah pernah membawa motor!”
“Tidak apa-apa! Biar aku saja!”
“Tapi ini sangat mengerikan!”
“Siapa yang peduli akan hal itu pada saat di jalanan tidak orang?!”
“Kau ini!”