Nuansa - Chapter 101
Belum jauh Nuansa dan Arfan pergi dari perumahan tempat Emma tinggal, tiba-tiba ada beberapa orang dengan beberapa motor yang mengikuti mereka dari belakang.
“Siapa itu, Ayah?” tanya Nuansa.
“Itu bukan mereka,” jawab Arfan.
“Apa aku perlu menambah kecepatan berkendaraku? Soalnya aku sydah menurunkan kecepatannya.”
“Tidak, tidak perlu. Tadi salah satu Satpam sempat menghubungi Polisi, tapi orang-orang yang di belakang kita ini tidak terlihat seperti Polisi.”
“Apa mereka mengejar kita?”
“Entahlah, tapi mereka terus melihat kita.”
“Mereka terlihat berbahaya?”
“Sepertinya.”
“Oh, tidak!” lanjut Arfan.
“Ada apa, Ayah?” tanya Nuansa.
“Salah satu dari mereka mengarahkan pistol ke arah kita!” jawab Arfan.
“Apa?! Berarti mereka Polisi?!”
“Bukan! Lagi pula Polisi tidak akan langsung menembak orang begitu saja!”
“Lalu siapa mereka ini?!”
Dor!
Tembakan dari pistol yang dipegang oleh salah satu dari orang-orang yang mengejar Nuansa dan Arfan lepas ke arah ban belakang motor yang dibawa Nuansa. Hal itu pun membuat Nuansa kehilangan keseimbangannya secara total dan membuatnya terjatuh, begitu juga dengan Arfan dan motor tersebut.
Saat terjatuh, Nuansa memeluk barang-barang Emma dengan erat, dan untungnya baik dia dan sang Ayah tidak mengalami luka berat, hanya beberapa luka lecet.
“Ayah tidak apa-apa?” tanya Nuansa pada Arfan sembari menghampirinya.
“Ya, kau bagaimana?” Arfan bertanya balik.
“Hanya ada beberapa luka lecet, tapi ini tidak apa-apa,” jawab Nuansa seraya membantu Arfan berdiri.
Tanpa mereka sadari, orang-orang ini sekarang mengelilingi mereka. Jumlah motor ada 5, dan jumlah orang ada 10.
“Siapa mereka, Ayah?” tanya Nuansa pada Arfan.
“Ayah tidak tahu, tapi melihat dari aksi mereka, sepertinya mereka adalah pembegal,” jawab Arfan.
“Apa yang mereka mau?”
“Mungkin barang-barang yang kau ambil dari Emma.”
“Jadi Emma yang mengirim mereka?”
“Entahlah, tapi sepertinya orang-orang ini tahu apa yang ada di dalam tas yang kau pegang itu.”
“Siapa kalian?! Apa mau kalian?!” tanya Nuansa pada orang-orang yang menggunakan masker tersebut, sama sepertinya.
Orang-orang ini tidak menjawab pertanyaan Nuansa, dan mereka tetap mengelilingi Ayah dan Anak itu.
Orang yang menembak ban motor yang dikendarai Nuansa tadi lalu mengarahkan pistol ke Nuansa.
“Lari, lari!” ucap Arfan, ia dan Nuansa lantas langsung berlari menerobos orang-orang ini.
Keduanya kemudian dihujani peluru-peluru dari pistol-pistol orang-orang itu, ternyata tidak hanya satu orang yang memiliki pistol, semua yang dibonceng memegang pistol.
“Ayah! Bagaimana ini?!” teriak Nuansa.
“Berlarilah dengan pola zig zag!” seru Arfan.
“Apa-apaan mereka ini?!”
“Entahlah!”
Arfan lantas melirik tas Emma yang dipegang oleh Nuansa.
“Berikan tas itu ke Ayah!” pinta Arfan.
“Apa?!” tanya Nuansa.
“Berikan saja!”
Nuansa kemudian menuruti perintah sang Ayah. Setelah tas tersebut berada di tangannya, Arfan lalu memeluknya.
“Apa yang akan Ayah lakukan?” tanya Nuansa.
“Kau teruslah berlari, Ayah akan mengalihkan perhatian mereka,” jawab Arfan.
“Apa?! Tidak!”
“Mereka menginginkan ini, Nak.”
“Kalau begitu lempar saja itu ke arah mereka!”
“Benar, tapi hal itu tidak menjamin kalau mereka tetap akan mengejar kita atau tidak, setidaknya kau harus aman.”
“Tidak, Ayah!”
“Sudah cukup kau melawan perintah orangtuamu! Turuti apa yang Ayah katakan! Mengerti?!”
Nuansa kemudian terdiam.
“Baiklah,” ucap Nuansa.
“Ayah menyayangimu,” ujar Arfan, dia lantas berbalik ke belakang, sementara Nuansa tetap berlari ke depan.
Meskipun berbalik, Arfan tentu saja tetap berusaha menghindari peluru-peluru dari sekelompok orang ini.
Mengejutkan, ternyata orang-orang ini tidak mengincar barang-barang Emma, tetapi Nuansa. Mereka sama sekali tidak memedulikan Arfan, bahkan sekarang Arfan lah yang berada di belakang mereka.
“Mereka tidak mengincar barang-barang ini sama sekali?!” kata Arfan yang langsung panik begitu menyadari bahwa Nuansa lah yang menjadi target orang-orang ini, dia pun langsung berlari mengejar kelompok tersebut yang sudah berhasil menyamai posisi mereka dengan Nuansa. Wajar saja, sebab Nuansa hanya mengandalkan kekuatan kakinya, sementara mereka mengandalkan kekuatan mesin motor mereka.
Tidak kehabisan akal, Nuansa yang siap diserang oleh peluru dari berbagai arah pun berhenti dan berlari menghampiri Arfan, ia berhasil mengecoh orang-orang itu, terbukti beberapa dari mereka sudah kehabisan peluru. Trik dari Arfan untuk berlari dengan pola zig zag benar-benar berguna, dan kepintaran Nuansa menghadapi situasi yang mendesak saat dikelilingi oleh orang-orang itu tadi benar-benar sempurna.
Arfan dan Nuansa pun kini kembali bersama.
“Kau tidak apa-apa?!” tanya Arfan pada Nuansa.
“Ya,” jawab Nuansa.
“Mereka mengincarmu, apa yang terjadi?!”
“Aku tidak tahu, Ayah.”
“Kau pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?! Kau memiliki urusan dengan orang-orang ini?!”
“Apa aku terlihat seperti itu?! Tentu saja aku tidak mengetahui siapa mereka! Aku tidak pernah berurusan dengan orang-orang seperti ini! Aku anak baik-baik!”
Arfan dan Nuansa lalu menyadari bahwa masih ada satu pistol yang belum kehabisan peluru, dan pistol itu kini tengah mengarah ke Nuansa.
“Sial! Lari, lari!” teriak Arfan, dia dan Nuansa kemudian lanjut berlari setelah sempat berhenti tadi.
Terlihat beberapa orang mengintip dari dalam rumah mereka, ya, memang ini adalah sebuah jalan di mana terdapat banyak rumah di pinggir-pinggirnya. Keberisikan yang diciptakan oleh Nuansa, Arfan, beserta orang-orang asing ini membuat banyak orang terbangun dari tidur mereka dan mengintip keluar untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Sialnya, Arfan terjatuh saat baru saja akan melanjutkan larinya, fisiknya benar-benar tidak kuat lagi untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak berat.
“Ayah!” seru Nuansa yang sudah maju duluan tadi.
“Larilah! Mereka mengincarmu!” teriak Arfan.
Namun sudah terlambat, orang-orang yang sepertinya geng motor ini kini mengelilingi Nuansa. Salah satu dari mereka yang masih memiliki satu peluru tersisa lantas turun dari motor dan mendekati Nuansa.
“Tolong, jangan,” pinta Nuansa yang nyawanya berada di ujung jurang.
“Aku bukan siapa-siapa, aku bukan anggota geng motor atau apapun, ini hanya masker, jangan kira aku musuh kalian atau bagaimana,” sambung Nuansa, dia kemudian membuka maskernya.
“Ini buktinya, tolong, aku bukan siapa-siapa, kalian pasti salah target,” ujar Nuansa yang masih memohon, ia bahkan sampai tiarap untuk membuat permohonannya dikabulkan.
“Kau membuka maskermu, kau membuat kami semakin yakin bahwa memang kaulah target kami,” ucap orang yang siap menembak Nuansa itu.
“Apa?” lirih Nuansa.
“Namamu Nuansa, kan?” tanyanya.
“Bagaimana-”
“Selamat tinggal, Nuansa.”
Seketika itu juga Nuansa memejamkan kedua matanya dan melindungi kepalanya menggunakan tangannya.
Dor!
Peluru terakhir ditembakkan.