Nuansa - Chapter 102
Pria yang menembak Nuansa terkejut saat peluru terakhirnya dia lepaskan, karena tepat pada saat dia melepaskan peluru tersebut, Arfan datang dan langsung menimpa Nuansa, sehingga yang tertembak bukan Nuansa, melainkan Arfan, tepat pada bagian Jantungnya.
Nuansa tentu saja menyadari bahwa seseorang telah melindunginya, dan dia bisa langsung tahu bahwa itu adalah Ayahnya, karena rasa pelukan Arfan tidak pernah berubah, ini tetap sebuah pelukan yang dulu selalu mengantar Nuansa ke alam mimpi.
Seluruu anggota geng motor ini pun hanya bisa terdiam karena target mereka benar-benar lolos, padahal mereka sudah menyerangnya dengan serangan yang brutal tadi, dan saat dia sudah tersudutkan pun dia masih bisa selamat. Usaha mereka sia-sia.
Beberapa detik kemudian, tubuh Arfan yang melindungi Nuansa terjatuh ke tanah, tepatnya ke sebelah Nuansa. Nuansa sendiri langsung gemetaran begitu mendengar suara tubuh Ayahnya yang menyentuh tanah, dan tanpa sadar air matanya langsung mengalir, padahal dia belum melihat keadaan sang Ayah.
Pada saat yang sama, dari arah rumah Emma terlihat beberapa orang datang, salah satunya adalah mobil Polisi. Para anggota geng motor pun langsung kabur begitu melihat ada Polisi datang, mereka meninggalkan Nuansa dan Arfan di tengah jalan, menjadi tontonan orang-orang yang berada di dalam rumah.
Nuansa secara perlahan mengangkat kepalanya dan menoleh ke Ayahnya yang sudah terbujur kaku. Air matanya mengalir semakin deras saat dirinya melihat keadaan Arfan, tetapi dia sama sekali tidak mengeluarkan suara tangisan.
“Ayah …” lirih Nuansa.
“K-kau baik-baik saja, kan?” tanya Arfan dengan suara yang hampir hilang.
“Tidak, aku tidak baik-baik saja jika Ayah tidak baik-baik saja,” jawab Nuansa seraya mengangkat kepala Ayahnya dan menopangnya di pahanya.
“Polisi datang, Ayah akan baik-baik saja, percayalah padaku,” ujar Nuansa. Gadis itu berusaha untuk tegar, tapi tentu saja ia tidak terlihat kuat sama sekali dengan air mata yang mengalir segitu derasnya.
Arfan kemudian tersenyum pada Nuansa.
“Lain kali … jangan melawan apa yang orangtuamu katakan, karena itu semua demi kebaikanmu sendiri,” kata Arfan dengan kesadaran yang hampir hilang.
“Iya, iya, aku berjanji, aku berjanji akan menjadi anak yang penurut, aku tidak melawan perkataan Ayah dan Ibu lagi. Aku minta maaf, Ayah, aku sungguh menyesal, benar-benar menyesal, dan Ayah akan melihat bagaimana aku akan berubah, Ayah akan senang dengan perubahanku, aku akan menjadi anak yang menuruti perkataan Ayah dan Ibu, dan Ayah juga akan ada untuk aku turuti perkataannya, iya, kan?” ucap Nuansa.
“Ayah tidak yakin, tapi … janjimu itu tidak boleh kau langgar ya, Nak.”
“Pasti, aku tidak akan melanggarnya, Ayah. Sekarang beritahu aku, besok pagi Ayah mau aku buatkan apa? Kopi? Teh? Singkong rebus? Singkong goreng? Katakan saja apa yang Ayah mau, aku akan menuruti permintaan Ayah, ketika Ayah terbangun besok pagi, semua permintaan Ayah sudah akan tersedia, tapi tentu aku tidak akan menuruti Ayah jika yang Ayah minta adalah rokok, sudah lama Ayah berhenti merokok, jadi jangan kotori paru-paru Ayah dengan benda itu.”
“Kau berjanji akan menuruti apapun yang Ayah katakan?”
“Apapun yang Ayah katakan dan yang Ayah minta, karena aku akan menjadi anak baik. Katakan saja, Ayah.”
“Tetaplah menjadi orang baik apapun yang terjadi, jangan pernah berbuat jahat apapun yang terjadi. Jadilah gadis yang mampu menjaga kehormatanmu dan kehormatan orangtuamu, jangan mencoba hal-hal yang dari dulu Ayah dan Ibu larang keras padamu, jangan pernah melawan Ibumu, sayangi dia apapun yang terjadi, karena dia adalah orang yang melahirkanmu. Lalu … menikahlah dengan pria yang baik, tidak perlu yang kaya, yang penting dia bisa memperlakukanmu dan Ibumu dengan baik, tapi intinya dia juga harus baik dan sayang pada semua anggota keluarganya, karena kau baik, jadi kau pantas mendapatkan pria yang seperti itu. Kau akan memiliki masa depan yang cerah, apapun yang terjadi, jangan menjadi orang yang tinggi hati, dan Ayah tahu kau akan menjadi Ibu yang hebat bagi cucu-cucu Ayah nanti.”
“Ya, aku mendengar semua itu, aku akan berjanji akan memenuhi semua itu. Sekarang, Ayah … mari kita bernostalgia dulu. Apa Ayah ingat saat aku tidak percaya dengan khasiat lumpur di kebun Ayah? Sekarang aku-”
“Nuansa …”
“Engh, ya?”
“Jangan pernah melupakan Ayah.”
Mendengar hal itu, Nuansa merasa hancur sekali, dan dari situ dia benar-benar menyadari bahwa ini adalah detik-detik terakhir kehidupan sang Ayah. Gadis tersebut lantas memeluk Arfan dengan air mata yang mengalir begitu deras, tetapi dia masih menahan suara tangisannya.
“Mana bisa aku melupakan pria sekeren, setampan, sehebat seperti Ayah. Ayah adalah pria terbaik di dunia, tidak ada yang akan melupakan Ayah kecuali orang itu amnesia,” ucap Nuansa yang menangis dalam pelukannya kepada Arfan. Nuansa memilih tetap dalam posisi seperti ini saja karena dia tidak sanggup jika harus melihat wajah Arfan di detik-detik terakhir hidupnya.
“Hahahaha, sepertinya kau juga akan pandai menggoda suamimu nanti,” kata Arfan.
Namun tidak ada balasan lagi dari Nuansa karena yang dilakukannya hanya menangis sembari memeluk erat-erat sang Ayah. Disaat yang sama, Emma, Satpam Juna, beserta para Polisi tiba di sana.
“Nuansa …” Arfan memanggil putrinya dengan suara yang hampir tidak terdengar lagi, dan matanya sudah mulai tertutup.
“Ya?” sahut Nuansa dengan suara yang bergetar.
“Katakan kau menyayangi Ayah,” pinta Arfan.
“A-aku … aku menyayangi Ayah, sampai kapanpun.”
Arfan tersenyum mendengar hal itu, kedua matanya akhirnya tertutup sempurna, tetapi dia masih bisa tersenyum sedikit.
“Ayah juga,” bisik Arfan, setelah itu, dia menghembuskan napas terakhirnya.
Arfan meninggal.
Saat menyadari hal itu, Nuansa akhirnya mengeluarkan suara tangisannya, dia menangis sejadi-jadinya.
“Nuansa …?” gumam Emma yang tidak percaya bahwa yang telah merampok rumahnya adalah Nuansa. Emma merasa marah sekali, tapi dia tidak mengeluarkan amarahnya karena situasi yang sedang terjadi. Emma langsung berbalik menjadi merasa bersedih melihat Nuansa dan Arfan, terlebih lagi Nuansa menangis dengan penuh kesedihan.
Emma paham betul bagaimana perasaan Nuansa saat ini, karena dia sendiri masih belum bisa sedikit move on dari kenyataan bahwa orangtuanya tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat, terlebih lagi hal itu belum lama terjadi.
Tak lama kemudian, perhatian Emma teralihkan ke tasnya, dia lantas menghampiri tasnya yang masih berisi barang-barangnya. Usai memeriksa barang-barang di dalam tasnya, Emma menoleh ke arah Nuansa dan melihat wajah Arfan yang memang mengarah ke dirinya, dia menatap wajah Arfan dengan perasaan iba.