Nuansa - Chapter 110
Di halaman depan rumah Neptunus, Emma bersama Eugene baru saja pergi menggunakan mobil Emma, sementara Nuansa masih menunggu taksi online yang di ordernya datang, dan dia ditemani oleh Bulan di depan gerbang.
“Kau mau mencarinya ke mana rupanya?” tanya Bulan pada Nuansa.
“Aku akan pergi ke kampusnya, jika kemarin dia datang, maka seharusnya hari ini dia juga datang, dan jam kuliah dia akan dimulau tidak lagi, Bibi, jadi seharusnya ketika aku sampai di sana, dia juga sudah ada di sana,” jawab Nuansa.
“Baiklah.”
Tak lama kemudian, taksi yang dipesan Nuansa akhirnya datang.
“Bibi, aku pergi ya,” Nuansa pun berpamitan pada Bulan.
“Hati-hati ya,” ujar Bulan seraya memeluk Nuansa. Nuansa lantas hanya mengangguk, dan lalu masuk ke dalam taksi tersebut.
“Dia benar-benar melakukan segala cara agar bisa lupa dengan hal-hal yang berkaitan dengan Ayahnya. Kasihan sekali kau, Nuansa. Tapi kau mencari Neptunus, orang yang pasti sangat paham perasaanmu saat ini, jadi mungkin ada baiknya kau ngotot ingin mencarinya, kau pasti butuh orang yang benar-benar memahami perasaanmu saat ini, terlebih lagi Ayah kalian meninggal dengan cara yang mirip,” gumam Bulah usai Nuansa pergi bersama taksi yang dipesannya.
***
Emma dan Eugene akhirnya sampai di rumah Emma, rumah itu tampak sangat sepi, wajar saja karena saat ini hanya ada Ihih di dalam rumah sebesar itu.
“Ayo masuk, Paman,” ajak Emma, dia kemudian masuk, diikuti oleh Eugene.
“Jam segini biasanya memang tidak ada orang?” tanya Eugene.
“Ada, bibi Ihih di sini kok, mau aku panggilkan?” kata Emma.
“Tidak usah.”
“Yasudah.”
Keduanya akhirnya sampai di kamar yang sebelumnya menjadi kamar Wan.
“Ini kamar tukang kebunku, Paman,” ucap Emma begitu mereka sampai di kamar tersebut. Mereka berdua pun lalu masuk ke dalam kamar yang masih terdapat banyak barang itu.
“Aku akan mencari barang-barangnya yang bisa memberikan petunjuk di sini, kau periksalah kamar atau barang-barang orangtuamu, siapa tahu mereka memang masih menyimpan foto copy KTP si Wan ini,” ujar Eugene.
“Baiklah, aku tinggal ya, Paman.”
“Ya, hati-hati ya.”
“Hati-hati?”
“Hanya mengingatkan saja.”
“Huh?”
“Lupakan saja.”
“O-ok,” Emma pun kemudian pergi dari kamar Wan dan pergi ke kamar orangtuanya.
Eugene lantas mulai memeriksa kamar ini, seperti membongkar lemari dan memeriksa ranjang beserta kolongnya.
Baru 2 menit memeriksa kamar Wan, tiba-tiba ada seseorang dari belakang Eugene yang membawa sebuah kayu sebagai senjatanya. Kebetulan posisi Eugene memang pas sekali sedang membelakangi pintu, jadi orang ini bisa masuk seenaknya saja.
Tidak, itu bukan Emma, melainkan Ihih. Eugene bisa langsung menyadarinya, dan begitu ia akan berbalik badan, Ihih mengancamnya.
“Jangan bergerak, atau akan kupukul kau menggunakan kayu ini,” ancam Ihih yang terlihat begitu waspada.
“Hei, tenanglah, aku bukan maling,” ujar Eugene.
“Jangan coba-coba kau bergerak.”
“Dengarkan aku, aku datang ke sini bersama Emma, aku bukan orang asing, aku calon Ayah sambungnya Neptunus, kau pasti kenal dengan Neptunus, kan?” kata Eugene sembari berbalik badan.
“Aku bilang jangan bergerak!” teriak Ihih.
“Ok, ok, tenang, aku bukan orang yang berbahaya,” ucap Eugene yang cukup merasa ngeri melihat Ihih yang terlihat siap memukulnya kapan saja menggunakan kayu tersebut.
Tiba-tiba ada suara dari luar.
“Ada apa, bibi Ihih?” orang yang memiliki suara itu bertanya pada Ihih, dan itu bukanlah bukan suara Emma, seseorang telah masuk ke dalam rumah. Tubuh Ihih sendiri memang tidak benar-benar masuk ke dalam, jadi orang yang berada di luar masih bisa melihatnya.
‘Tetangga mereka?’ batin Eugene.
Sesaat kemudian baru terdengar suara Emma yang dibarengi dengan suafa langkah kaki yang bergerak cepat menuruni tangga.
“Bibi, ada apa?” tanya Emma pada Ihih seraya menghampirinya.
“Bibi, ini paman Eugene, dia bukan orang asing, turunkan kayu Bibi,” ucap Emma usai dirinya menoleh ke dalam kamar itu dan melihat bahwa Ihih sebenarnya sedang mengarahkan sebatang kayu yang cukup besar kepada Eugene.
“Engh, maaf ya, tidak apa-apa kok,” ujar Emma beberapa detik kemudian kepada tetangganya yang masuk ke dalam rumahnya.
“Kau yakin?” tanya tetangganya tersebut.
“Iya, aku membawa orang yang tidak dikenal oleh bibi Ihih, dan dia mengira orang ini adalah maling, padahal bukan. Maaf karena sudah mengganggu ya.”
“Oh, yasudah, tidak apa-apa.”
Tetangga Emma itu kemudian pergi, dan Ihih akhirnya menurunkan kayunya.
“Ini paman Eugene, calon Ayah tirinya Neptunus, Bibi. Aku pernah menceritakannya pada Bibi, kan?” kata Emma pada Ihih.
“Ya, maaf ya Nona, saya begini karena tidak pernah melihat wajah Tuan Eugene,” ucap Ihih.
“Minta maaflah pada paman Eugene, Bibi.”
“Saya minta maaf, Tuan.”
“Ya, tidak apa-apa,” ujar Eugene.
“Bisa bawa keluar kayu itu, Emma?” lanjut Eugene.
“Huh? Kenapa?” tanya Emma.
“Bawa saja.”
Emma kemudian mengambil kayu itu, namun tiba-tiba Eugene mengarahkan sebuah pistol ke arah Ihih. Ihih tentu saja terkejut dengan aksi Eugene tersebut, begitu juga dengan Emma yang baru saja akan keluar.
“Paman?! Apa yang kau lakukan?!” tanya Emma dengan panik.
“Jauhkan kayu itu dari kita,” suruh Eugene.
“Tidak, apa kau sudah gila?! Apa yang kau lakukan?!” kata Emma.
“Tanyakan kepada Ihih kenapa aku mengarahkan pistol ke arahnya.”
“Apa?!”
“Lakukan saja perintahku, Emma!”
“Akan kulakukan jika kau menurunkan pistolmu juga,” ucap Emma. Situasi pun mendadak menjadi memanas di antara mereka.
***
Sementara itu, Nuansa akhirnya sampai di kampus Neptunus. Setelah membayar ongkos, Nuansa pun masuk ke dalam kampus tersebut dengan menarik napas panjang.
‘Kuharap aku menemukanmu di sini, Nep,’ batin Nuansa. Gadis itu lantas berjalan masuk ke sana.
Baru saja Nuansa berjalan masuk ke salam kampus itu, secara tidak sengaja dia melihat Finn sedang berjalan dengan seorang pria. Finn dan pria itu membelakangi Nuansa, tetapi Nuansa bisa melihat wajah Finn, dan sayangnya tidak bisa melihat wajah pria tersebut.
Dari belakang, pria itu terlihat mirip dengan Neptunus, dan hal itu pun membuat Nuansa langsung bergegas untuk menghampiri Finn dan pria itu.
‘Itu kau, kan, Neptunus?’ batin Nuansa.