Nuansa - Chapter 126
Siang harinya, Nuansa bersama Thomas mendatangi kantor Polisi tempat Reynand bekerja, namun yang pertama kali menyambut mereka justru Taufan, sebab kebetulan ketika mereka berdua akan masuk, Taufan justru sebaliknya.
Nuansa lantas melemparkan sebuah senyuman kepada Taufan, dan pria itu pun merasa bingung, sampai-sampai dia menahan Nuansa.
“Tunggu,” ucap Taufan.
“Apa?” sahut Nuansa.
“Kau tidak marah padaku?” tanya Taufan.
“Marah?” Nuansa bertanya balik.
“Engh … aku ingih minta maaf padamu tentang yang waktu itu, aku sadar aku sangat mengganggumu, tapi …”
“Tidak apa-apa, lupakan saja, Reynand dan aku sudah menyelesaikan semuanya, jadi kau tidak perlu meminta maaf lagi, permintaan maaf Reynand sudah mewakili permintaan maafmu juga, Kak.”
“Tapi … aku tetap merasa tidak enak, makanya aku tidak pernah berani bertemu lagi denganmu meskipun Reynand sudag mengatakan padaku kalau permasalahan kalian sudah selesai dan kalian sudah berdamai. Dan sekarang kita secara tidak sengaja berjumpa di sini, aku … aku rasa aku masih tidak siap. Aku benar-benar merasa bersalah, Nuansa. Maafkan aku.”
“Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Kenapa kau ingin dia mengulanginya?” tanya Thomas pada Taufan.
“Siapa kau?” Taufan malah bertanya balik pada Thomas.
“Sudah, sudah, lupakan saja. Intinya, lupakan saja, semuanya sudah baik-baik saja dan kembalilah seperti semula,” ujar Nuansa.
“Tapi-”
“Kalau kau masih akan berkata kalau kau tetap merasa bersalah aku tidak akan membantu gadis ini.” Thomas menyela Taufan.
“Tunggu, apa?!” kata Nuansa.
“Gertakan.”
“Kau tidak serius mengatakannya, kan?” tanya Nuansa.
“Apa aku terlihat serius mengatakannya?” Thomas malah bertanya balik pada Nuansa. Dan Nuansa malah mengernyitkan dahinya sambil menatap Thomas. Thomas pun kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Nuansa.
“Tidak,” jawab Nuansa akhirnya.
“Bagus, karena memang tidak,” ucap Thomas yang lalu kembali ke posisi normal.
“Ngomong-ngomong, kami mau masuk dulu ya, pak tua,” sambung Thomas, dia mengatakan itu pada Taufan dan kemudian langsung menarik tangan Nuansa untuk mengajaknya masuk.
“Hei! Aku masih muda!” sewot Taufan.
“Dia agak berisik, ya,” bisik Thomas pada Nuansa.
“Sama sepertimu,” sindir Nuansa.
“Apa?!”
“Engh, tidak, tidak.”
“Hmmm.”
“Reynand!” Nuansa berteriak memanggil Reynand yang terlihat sedang mengobrol dengan beberapa Polisi lain di kejauhan.
“Nuansa.” Yang menyahuti Nuansa malah Polisi lain yang merupakan seorang Polwan yang juga mengenal Nuansa cukup dekat.
“Eh, kau? Apa kabarmu?” tanya Nuansa pada Polwan tersebut.
“Aku baik, kau sendiri bagaimana? Lama tidak berjumpa, ya? Padahal rumahmu dekat,” balas Polwan itu.
Sadar bahwa percakapan mereka berpotensi menjadi pembicaraan yang panjang khas para wanita, Thomas pun lantas hanya bisa memasang ekspresi wajah datar sembari menggigit-gigit kukunya. Thomas berusaha untuk tidak mendengar rumpian Nuansa dan Polwan tersebut, karena yang mereka bahas justru seseorang yang tidak Thomas kenal yang kata si Polwan sekarang sudah menikah tapi bukan dengan pacarnya, melainkan dengan pria pilihan orangtuanya.
“Iyakah? Suaminya egois sekali, dasar tidak tahu diri. Orangtuanya juga kok bisa begitu, ya? Dan dianya juga kenapa mau sekali dijodohkan secara paksa begitu?” kata Nuansa yang mulai emosi.
“Aku tidak tahu, katanya dia mau menerima keputusan orangtuanya karena saat itu dia sedang berantam dengan pacarnya itu, dan karena sedang sangat kesal pada pacarnya, makanya dia menerima perjodohan itu,” ujar si Polwan.
“Ish, bodoh sekali dia, kan jadi menyesal sekarang. Gak bisa lah kalau gitu menyalahkan orangtuanya, yang salah dia sendiri.”
“Nah, makanya itu, tapi dari cerita dia seolah-olah dialah korbannya, padahal menurut kita enggak, kan?”
“Iya. Tapi suaminya pun keterlaluan, masa memperlakukan istri dengan cara seperti itu. Tapi dia pun bodoh, bukannya diketahui secara mendalam dulu karakternya.”
“Macam kau tahu karakter Neptunus secara mendalam saja.” Thomas menyindir Nuansa.
“Hei! Ini tidak ada hubungannya dengan hal itu!” sewot Nuansa.
“Ngomong-ngomong, itu pacarmu, Nuansa?” tanya Polwan tersebut pada Nuansa, dia mempertanyakan mengenai Thomas.
“Eh, enak saja kalau bicara,” kata Nuansa.
“Kan aku hanya bertanya.”
“Memangnya Reynand tidak menceritakan apa-apa tentangku padamu?”
“Tidak, aku sudah jarang berada di sini sejak pindah kantor.”
“Kau pindah kantor?”
“Iya, kata Reynand kau tidak pernah datang ke sini lagi sejak aku pindah kantor.”
“Jadi hari terakhir aku berjuala di sini adalah hari terakhirmu berada di sini?”
“Iya. Kenapa kau tidak pernah berjualan di sini lagi? Aku setiap hari tetap datang ke sini, tapi hanya setengah jam, ini aku baru tiba, dan aku tidak menyangka akan bertemu denganmu.”
“Kau benar-benar tidak tahu banyak hal mengenaiku lagi, ya?”
“Iya, ceritakan saja semuanya, aku masih punya setengah jam di sini.”
“Kau datang ke sini untuk urusan apa memangnya?”
“Oh, iya, astaga, sebentar ya, aku memang masih punya urusan. Sebentar, tunggu di sini sebentar saja.” Polwan itu lantas pergi, dan Reynand datang persis setelah Polwan tadi pergi.
“Ada apa, Nuansa?” tanya Reynand pada Nuansa.
“Maaf agak lama, aku tadi ada urusan sebentar,” sambungnya.
“Engh … bagaimana perkembangan kasus Emma? Aku belum menelponnya lagi,” ucap Nuansa.
“Astaga, yang benar saja. Kita lama-lama menunggu pria ini menyelesaikan urusannya tadi dan hal yang pertama kau tanyakan pada dia adalah tentang kasus Emma? Bukannya kasusmu sendiri?” protes Thomas pada Nuansa.
“Kasusmu? Kau ingin kami mencari geng motor itu?” tanya Reynand pada Nuansa.
“Bukan, hal lain. Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari Neptunus,” kata Nuansa.
“Hoho, pastikan kau tidak terbakar mendengarnya,” ujar Thomas pada Reynand.
‘Untung saja ini bukan rumah Neptunus,’ batin Nuansa.
Reynand seketika melirik Thomas.
“Maafkan aku, aku menceritakan terlalu banyak hal mengenai kita padanya, abaikan saja dia,” kata Nuansa pada Reynand.
“Hei!” sewot Thomas.
“Baiklah, kau ingin bantuan apa?” tanya Reynand.
“Aku hanya ingin kau bisa membuatku melihat rekaman CCTV di sebuah jalan,” ucap Nuansa.
“Huh?”
Nuansa lantas menjelaskan alasannya pada Reynand.
“Hmmm, bisa saja, tapi rekaman CCTV di daerah itu tidak ada di sini,” jelas Reynand.
Thomas tiba-tiba mengeluarkan dompetnya dari dalam sakunya.
“Alah, banyak alasan. Sebut saja nominalnya,” kata Thomas sembari menghitung uang-uangnya yang semuanya berwarna merah.
“Maaf, tapi aku bukan Polisi sogokan seperti itu, jadi simpan uangmu baik-baik,” ujar Reynand.
“Ah, yang benar? Tidak usah malu-malu kambing.”
Reynand kemudian hanya memutar kedua bola matanya.
“Akan aku usahakan, tapi aku tidak bisa janji kapan aku bisa membawamu untuk bisa melihat rekamannya, tapi ini bukan hal yang sulit, kok. Sepertinya besok juga aku bisa membawamu melihatnya,” kata Reynand pada Nuansa.
“Hmmm, bukankah untuk hal-hal rekaman CCTV itu urusan Polisi lalu lintas?” tanya Nuansa.
“Tidak juga.”
“Oh, syukurlah.”
“Kalau pakai uang detik ini juga bisa, kan?” tanya Thomas pada Reynand.
Nuansa kemudian menyenggol Thomas dengan menggunakan sikunya yang runcing.
“Aw!” teriak Thomas.
“Kau ini apa-apaan!” lanjutnya.
“Berisik,” ujar Nuansa.
“Nuansa!” panggil Polwan tadi.
“Maaf ya aku harus segera kembali ke kantorku, lain kali kita habiskan waktu yang lebih untuk mengobrol, ya,” sambungnya. Wanita itu terlihat sudah terburu-buru.
“Oh, ok, hati-hati di jalan, ya,” ucap Nuansa.
“Baiklah. Dadah.” Polwan tersebut lalu pergi.
“Padahal dia baru saja sampai,” ujar Reynand.
“Kami juga ingin berpamitan, ya, maaf jika sudah mengganggumu,” kata Nuansa.
“Eh? Cepat sekali?” ucap Reynand.
“Aku harus pergi ke kampusku untuk berkuliah,” kata Thomas.
“Aku tidak bertanya padamu.”
“Ahahaha, iya, aku ingin bermalas-malasan dulu di rumah,” ujar Nuansa.
“Baiklah, terserahmu saja.”
“Aku tunggu kabar baik darimu.”
“Ok.”
Nuansa dan Thomas lalu pergi dari sana.
“Kau benar-benar berguna,” bisik Thomas pada Nuansa. Nuansa kemudian hanya memutar kedua bola matanya.