Nuansa - Chapter 127
‘Kita baru akan membuat persiapan setelah Reynand membawaku ke kantor Polisi tempat dimana rekaman CCTV di lampu merah itu berada, jadi kalian tidak perlu datang ke rumahku lagi hari ini untuk berdiskusi’
Begitulah isi pesan yang dikirim Nuansa ke grup chatnya bersama Vega, Itzan, Rea, Rosy, Alan, Noah, dan Alvaro.
Dia kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasurnya yang sudah sangat tipis hingga Nuansa merasa dia sedang rebahan di lantai langsung tanpa ada kasur sebagai alasnya.
‘Kasur ini sudah sangat tipis, aku tidak menyangka kalau kasur pun bisa menipis,’ batin Nuansa.
‘Sepertinya aku harus membeli yang baru. Untuk Ibu juga,’ pikirnya, dia lalu membuka laci tempat dirinya menyimpan gajinya dari Neptunus.
Uang-uang itu masih sangat utuh, karena Nuansa dan orangtuanya memang belum pernah memakainya, mereka selama ini memakai uang orangtua Nuansa untuk bertahan hidup, dan sekarang Nuansa berpikir bahwa mungkin sudah saatnya dia mulai memakai uang-uangnya ini, dia bahkan tidak sadar bahwa dirinya belum pernah memakai uang-uang ini sama sekali.
“Bagaimana bisa aku belum pernah menggunakan uang-uang ini?” gumam Nuansa. Gadis tersebut terdiam saat menatap uang-uang itu.
Itu semua hanya uang, namun entah kenapa uang sekalipun bisa membuatnya teringat kepada Neptunus. Nuansa langsung teringat saat Neptunus memberikannya gaji pertamanya, gaji keduanya, gaji ketiganya, dan seterusnya
‘Sial, kenapa aku malah jadi kepikiran tentang dia?’ batin Nuansa. Tak lama kemudian, dia meraih ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Neptunus.
Meskipun pada awalnya merasa ragu, Nuansa tetap menghubungi pria tersebut, tetapi nomornya ternyata sudah tidak aktif lagi. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Nuansa tahu bahwa Neptunus telah mengganti nomor teleponnya, tadi pagi dia dan Thomas sudah mencoba untuk menghubungi Neptunus, dari situlah mereka tahu bahwa Neptunus sudah mengganti nomor teleponnya, dan Reynand sendiri tadi sudah menyuruh mereka untuk mencoba menghubungi Neptunus, karena siapa tahu sinyalnya bisa terlacak, tapi Nuansa sudah menjelaskan bahwa nomornya sudah tidak aktif lagi.
Walaupun begitu, Nuansa masih tidak percaya bahwa Neptunus benar-benar sudah mengganti nomor teleponnya, yang artinya pria itu telah memutuskan segala komunikasi dengan orang-orang yang dia kenal, makanya kali ini Nuansa mencobanya lagi meskipun tadi pagi dia sudah mencobanya. Dan tentu saja hasilnya sama seperti yang tadi pagi.
Selain itu, Neptunus juga tidak memiliki akun media sosial apapun selain akun email, akun di pesan berbagi pesan, dan akun di situs tempat dia mencari jasa pacar sewaan, jadi memang satu-satunya langkah pertama untuk melacaknya adalah dengan mengetahui apa yang dia lihat di lampu merah itu.
“Neptunus … sedang apa kau sekarang?” gumam Nuansa, gadis itu lantas teringat akan saat dirinya tak sengaja masuk ke dalam kamar ini saat Neptunus sedang berpakaian, ketika itu jantungnya benar-benar terasa seperti akan copot, namun untunglah tidak.
Bayangan akan hari itu yang terekam di otak Nuansa membuatnya seolah melihat kejadian itu terulang, tapi dia tahu bahwa semua itu tidaklah nyata.
‘Seandainya kontak kita tidak berakhir secepat ini, apa semuanya akan menjadi seperti ini, Neptunus?’ batin Nuansa.
“Tidak, dia sengaja mengakhiri kontrak kami secepat ini karena dia memang ingin pergi,” ucapnya.
“Sepertinya memang begitu, karena dia juga tiba-tiba mengajakku untuk makan malam bersama di restoran tempat kami pertama kali bertemu,” sambungnya.
Nuansa terdiam sesaat.
“Kenapa aku jadi berbicara dengan diriku sendiri?” ujarnya kemudian.
“Argh.” Ia lantas memeluk gulingnya dan memejamkan kedua matanya, Nuansa pun perlahan mulai tertidur.
***
Pada malam harinya, di sebuah tempat gelap yang sangat asing, terdengar sebuah langkah kaki yang berjalan cukup pelan. Hingga kemudian, orang tersebut berhenti melangkah untuk membuka pintu yang ada di depannya.
Pintu besar itu dibuka dengan cara digeser, dan setelah menggeser pintu tersebut, orang itu pun keluar dari sana.
Ternyata, di luar ada 2 orang pria berbadan besar yang menjaga pintu itu dari ujung ke ujung, dan ketika orang ini keluar, salah satu dari mereka bertanya, “Hei, mau ke mana kau?”
Orang yang baru saja keluar itu, dia sudah melangkah cukup jauh menjauhi pintu meskipun dirinya baru saja keluar. Dia lantas berhenti melangkah.
“Urusanku sudah selesai,” ucap orang tersebut, dia ternyata seorang pria juga.
“Lalu ke mana kau akan pergi sekarang?”, tanya penjaga pintu yang satu lagi.
“Apa itu penting bagimu?” orang ini balik bertanya.
Mendengar pertanyaannya, kedua penjaga pintu itu pun lalu saling menoleh ke arah satu sama lain.
“No,” penjaga yang ditanyai balik tadi menjawab.
Setelah penjaga itu menjawab, orang tersebut pun kemudian melanjutkan langkahnya yang menuju ke sebuah mobil. Sesampainya di dekat mobil itu, dia lantas masuk ke dalamnya dan pergi dari sana.
“Dia tidak seperti biasanya,” kata penjaga yang pertama kali bertanya pada orang itu tadi usai orang tersebut pergi.
“Aku rasa itu wajar saja,” sahut temannya.
“Mungkin, tapi tidak biasanya dia bersikap kurang sopan pada kita.”
“Kurasa tidak ada yang pernah bersikap sopan pada kita.”
“Aku merasa dialah yang satu-satunya cukup sopan.”
“Ah, itu tidak penting, kembali fokus saja pada tugas kita.”
“Sebaiknya begitu jika kita memang masih hidup.”
“Ups, kelihatannya ada yang kehilangan semangat hidupnya.”
“Lihat saja kalau sampai keinginanku berhasil terwujudkan.”
“Baiklah, baiklah. Sekarang diamlah, aku sudah muak mendengar suaramu.”
***
Seperginya dari tempat tersebut, pria yang dianggap cukup sopan oleh salah satu dari penjaga pintu tadi kemudian pergi ke sebuah makam. Dia bahkan mengelus nisan dari makam tersebut dengan sangat lembut.
Tak lama setelah itu, dia pergi dari makam tersebut menuju suatu tempat.
Sekitar beberapa puluh menit kemudian, dia sampai di sebuah rumah sakit, dan ternyata inilah tempat yang ditujunya. Dia lantas masuk ke dalam rumah sakit ini dan terlihat sangat akrab dengan beberapa petugas dan perawat di sana.
Pria itu lantas masuk ke dalam sebuah kamar di rumah sakit itu yang tentunya ada seorang pasien di dalam kamar tersebut. Ya, hanya ada satu pasien di dalam kamar itu, karena sepertinya ini adalah kamar khusus.
Dia kemudian duduk di samping ranjang pasien itu sambil tersenyum.
“Sepertinya ada kemajuan darimu,” ujar pria tersebut sambil mengelus-elus tangan pasien ini.
***
“Ngaarrrkkhhhhhh. Ngooooorrkkhhh.”
Keesokan harinya, pada pukul 10 pagi, Nuansa masih tertidur pulas di dalam kamarnya. Dia terlihat sangat nyenyak meskipun sudah tidur selama hampir 20 jam, bahkan dia mendengkur dengan sangat kuat.
Hingga akhirnya, ponselnya yang tertimpa oleh badannya berdering dan bergetar, membuatnya terbangun dan terpaksa menjawab panggilan itu.
Ya, seseorang menghubunginya dan akhirnya membuat ia terbangun.
“Halo?” ucap Nuansa setelah dia menjawab panggilan tersebut. Suara parau khas orang baru bangun tidurnya membuat sang penelpon malah bertanya apakah dia baru bangun tidur.
“Kau baru bangun tidur?” tanya si penelpon yang ternyata adalah Reynand.
“Iya, ada apa?” Nuansa bertanya balik.
“Aku punya kabar baik, tapi … sebaiknya kau datang ke sini saja langsung. Bersihkan dirimu dulu, dan pastikan juga kau sudah benar-benar bangun.”
“Aku sudah bangun, jadi katakan saja sekarang.”
“Tidak, lebih baik kau mandi dulu, ini sudah jam sepuluh, loh.”
“Huh?! Jam sepuluh?!” teriak Nuansa. Gadis itu lantas langsung keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan ponselnya begitu saja dalam keadaan masih dalam panggilan bersama Reynand.
Ketika keluar dari dalam kamarnya, Nuansa melihat Durah yang sedang memasak untuk makan siang mereka, padahal Nuansa saja belum sarapan.
“Ibu kenapa tidak membangunkanku?! Aku tidur dari kemarin siang!” seru Nuansa sembari berlari menuju kamar mandi.
Karena letak kamar mandi mereka di luar, tentu saja Durah tidak menyahuti putrinya itu, karena kalau tidak orang-orang bisa berpikir kalau mereka sedang ribut, jadi Durah pun hanya bisa menggelengkan kepalanya.