Nuansa - Chapter 128
“Ibu sudah membangunkanmu sebanyak tiga kali, tapi kau tidak bangun juga, kau tidur dengan sangat nyenyak, jadi ibu memutuskan untuk tidak membangunkanmu lagi,” ucap Durah pada Nuansa yang kini sedang sarapan.
“Tiga kali?” tanya Nuansa dengan perasaan tidak percaya.
“Ya, semalam dua kali, dan tadi pagi satu kali. Sepertinya kau sangat lelah, ya?”
“Entahlah, aku tidak merasa begitu, Ibu.”
“Berarti kau sedang banyak pikiran.”
“Mungkin.”
“Ibu sepertinya sudah melewatkan banyak hal. Apa saja yang terjadi? Selama ini kau mengurus kasus Ayahmu, kan?”
“Engh … tidak, tidak juga.”
“Ibu pikir selama ini kau sudah meminta bantuan Reynand untuk menuntaskan permasalahan ini, lalu apa saja yang kau lakukan sebenarnya?”
“Ada sangat banyak hal rumit yang terjadi secara bersamaan, Ibu. Intinya semuanya baik-baik saja, kasus Ayah juga akan segera kutuntaskan, serahkan saja semuanya padaku, Ibu tidak perlu memikirkannya, lebih baik Ibu santai-santai saja, kepergian Ayah pasti masih membuat Ibu sangat terluka, dan aku tidak mau beban Ibu malah semakin berat dengan memikirkan semua yang terjadi beberapa hari belakangan ini.”
“Ibu setuju denganmu, tapi meskipun begitu, Ibu tidak bisa memercayaimu atas semuanya setelah apa yang terjadi, Ibu tidak ingin kau melakukan kecerobohan atau kesalahan yang fatal lagi.”
“Aku mengerti, Ibu, dan aku bukannya tidak belajar apapun dari segala yang telah aku lalui. Aku tahu sulit untuk memercayaiku, tapi … tapi aku hanya bisa berjanji kalau aku akan menyelesaikan semua permasalahan ini dengan baik, dan Ibu tidak perlu hanya perlu menungguku untuk menyelesaikan semuanya dengan perasaan tenang.”
“Ibu tidak bisa tenang kalau Ibu saja tidak tahu apa yang sebenarnya yang sedang kau urus, setidaknya ceritakan sedikit saja, ini demi kebaikan kita, dan kebaikan semuanya.”
“Aku tahu, tapi aku akan memilih untuk membuat Ibu tetap tidak tahu segala yang telah terjadi agar Ibu tidak terlalu memikirkannya. Mengertilah, Ibu, hal itu aku lakukan karena aku menyayangi Ibu.”
“Tapi-”
“Aku tahu aku keras kepala, bahkan sampai sekarang pun aku masih keras kepala, tapi kali ini tidak akan sama. Aku punya banyak teman yang membantuku, termasuk Reynand, jadi Ibu tidak perlu khawatir.”
Durah lantas terdiam.
“Huft, aku tidak tahu kenapa sifatmu bisa seperti ini, Ibu dan Ayahmu tidak seperti dirimu,” ujar Durah. Meskipun masih berpegang teguh pada pendapatnya, Durah memutuskan untuk mengalah dari putrinya karena dia tidak ingin sakit kepala karena berdebat dengan putrinya sendiri.
“Maafkan aku,” kata Nuansa. Gadis itu lalu menyelesaikan sarapannya dan setelah itu langsung mencuci piringnya.
“Aku harus pergi ke kantor Reynand. Ibu baik-baik di sini, ya,” ujar Nuansa usai dirinya bersiap-siap. Durah lantas hanya menjawabnya dengan beberapa kali anggukan.
Nuansa pun kemudian pergi ke kantor Reynand dengan berjalan kaki, dia juga sudah mengabari Thomas tadi dan menyuruhnya untuk langsung mendatangi kantor Reynand, jadi mereka akan bertemu di sana.
Saat sedang berjalan menuju kantor Polisi tempat Reynand bekerja, Nuansa menerima panggilan dari seseorang, dan ternyata itu adalah Gladys. Nuansa pun menjawab panggilan tersebut.
“Halo?” sapa Nuansa.
“Halo,” balas Gladys.
“Kau apa kabar?” sambung Gladys.
“Aku baik, bagaimana denganmu? Lama tidak mengobrol rasanya, ya? Padahal baru kemarin kita tidak mengobrol,” ucap Nuansa.
“Aku juga baik. Iya, aku tahu kau pasti sedang memiliki banyak urusan, jadi aku memutuskan untuk tidak menghubungimu dulu kemarin, maaf ya.”
“Tidak apa-apa, justru aku yang kelewatan karena sama sekali tidak memulai komunikasi denganmu.”
“Jangan salahkan dirimu, kita sama-sama mengerti keadaannya, lagi pula baru satu hari kita tidak berkomunikasi, kan?”
“Ahaha, ya, tapi, terima kasih atas pengertiannya.”
“Sama-sama.”
“Emmm, bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanya Nuansa.
“Baik-baik saja, tapi kau tahu? Finn mendatangiku setiap hari saat aku sedang menunggu ojek yang kupesan, dan sepertinya dia juga akan datang lagi sore ini. Huft, mau tidak mau, aku tetap harus menyahuti apa yang dia katakan, karena kasihan juga dia aku abaikan begitu.”
“Uuuuh, ternyata kau masih menyimpan perasaan padanya, ya?”
“Bukan begitu! Hanya saja, dia sudah meminta maaf sebanyak dua kali dan memang terlihat sangat menyesal dan merasa bodoh dengan apa yang dia lakukan padaku waktu itu.”
“Lalu? Kau memaafkannya?”
“Secara pribadi, sebenarnya iya, karena Emma saja aku maafkan, kan? Tapi aku tidak mengatakan padanya kalau aku memaafkannya, aku tetap bersikap seolah aku tidak memaafkannya.”
“Kenapa tidak kau katakan saja padanya kalau kau sudah memaafkannya?”
“Aku ingin mengatakannya, tapi aku tidak ingin membuat dia semudah itu mendapatkan maaf dariku.”
“Hm?”
“Rasa kepercayaannya padaku masih sangat tipis, sementara hubungan itu seharusnya dibangun atas rasa saling percaya juga, kan? Aku ingin mengatakan padanya kalau dia harus mengintrospeksi dirinya tentang hal itu dan harus selalu mencari tahu fakta sebelum mengambil keputusan atau pendapat.”
“Ya katakan saja, tidak ada salahnya, kan?”
“Memang, tapi aku harus memastikan bahwa apa yang aku katakan benar-benar akan dia lakukan, kalau tidak ya sama saja bohong.”
“Dia pasti akan melakukannya.”
“Kenapa kau bisa seyakin itu?”
“Karena salah satu alasan terbesar manusia bisa berubah itu karena orang yang dicintainya, baik itu berubah menjadi jauh lebih baik ataupun jauh lebih buruk, dan dalam permasalahan kalian, dia pasti akan berubah menjadi seperti yang bagaimana yang kau katakan tadi karena kau adalah orang yang dicintainya.”
“Tapi … apa dia benar-benar mencintaiku kalau dia saja tidak bisa percaya padaku?”
“Dia berkata kalau dia mencintaimu, kan? Kalau kau mencintainya juga, kau pasti percaya dengan apa yang dia katakan, karena memang kau bisa merasakan perasaan saling cinta di antara kalian jika kau dan dia benar-benar saling mencintai.”
Gladys kemudian terdiam, tapi sesaat setelahnya, dia menarik napas panjang.
“Baiklah, terima kasih, pembicaraanku denganmu benar-benar sangat membantuku, kau sudah seperti pakar cinta saja,” ujar Gladys.
“Hahahaha, aku rasa diajarkan tentang cinta oleh Vega membuatku bisa mengerti mengenai cinta,” ucap Nuansa.
“Kau diajarkan Vega?”
“Ya, kemarin dia dan teman-temannya mampir ke rumahku setelah sebelumnya Vega sempat merasa kecewa setelah tahu bahwa hubunganku dengan Neptunus ternyata hanya hubungan palsu.”
“Tunggu, apa?!”
“Ya, semuanya sudah terkuak di hadapan Vega dan bibi Bulan.”
“Bagaimana bisa?!”
“Ugh, ceritanya panjang sekali, sangat banyak yang terjadi dua hari belakangan ini, tapi mungkin aku tidak bisa menceritakannya padamu sekarang, aku masih harus mengurus beberapa hal.”
“Oh, ok, baiklah, aku juga harus kembali bekerja.”
“Semangat!”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Mereka berdua pun kemudian memutuskan sambungan telepon itu, dan kebetulan juga Nuansa sudah sampai di kantor Polisi tempat Reynand bekerja. Saat baru saja sampai dan belum sempat masuk, alias saat masih berada di trotoar, sebuah mobil melintas di depan Nuansa. Mobil itu sendiri berasal dari dalam kantor Polisi ini, dan sudah bisa ditebak mobil siapa itu.
“N! Kenapa kau lama sekali?!” tanya Thomas dari dalam mobilnya tersebut, tentunya dengan kaca mobil yang terbuka, jadi Nuansa bisa melihat bahwa di dalam mobil itu juga sudah ada Reynand yang duduk di belakang.
“Maaf, aku jalan pelan tadi,” kata Nuansa yang kemudian membuka pintu belakang.
“Hei! Hei! Apa yang kau lakukan?! Duduk di depan! Jangan buat aku seperti sopir kalian.”
“Aku tidak memperlakukanmu seperti seorang sopir.”
“Dengan kalian berdua yang duduk di belakang, aku akan terlihat seperti sopir kalian.”
“Tidak.”
“Tentu saja iya.”
“Nuansa, turuti saja apa yang dia katakan,” ujar Reynand pada Nuansa.
“Huft, baiklah.” Nuansa lalu menutup pintu belakang yang dibukanya tadi dan lantas duduk di depan, di samping Thomas.
“Jangan lupa pakai sabuk pengaman,” ucap Thomas pada Nuansa. Nuansa pun kemudian memakai sabuk pengamannya.
“Jadi kita akan pergi melihat rekaman CCTVnya?” tanya Nuansa pada Reynand.
“Ya,” jawab Reynand.
“Ok.”
Mereka bertiga pun lantas pergi dari sana.