Nuansa - Chapter 131
Nuansa, Thomas, Itzan, dan Rea saat ini sedang dalam perjalanan menuju Pamulang dengan menggunakan mobil Thomas, dan juga dikendarai oleh Thomas.
Sudah sekitar 30 menit mereka dalam perjalanan, dan semuanya, kecuali Thomas, sedang bermain ponsel mereka sekarang, namun sesaat kemudian Nuansa yang tidak memiliki hal yang menarik tidak menarik di ponselnya berhenti memainkannya dan memilih untuk melihat-lihat jalan.
Thomas memerhatikan Nuansa melalui kaca spion tengah, tapi Nuansa tidak menyadarinya.
Nuansa lantas kembali memainkan ponselnya dan membuka galeri, dia melihat-lihat foto-fotonya bersama Neptunus pada saat mereka berada di Korea, dan tanpa sengaja Rea melihat ponsel Nuansa dan langsung berhenti bermain ponselnya.
“Kau sangat merindukannya, ya?” tanya Rea pada Nuansa.
“Hm? Entahlah,” jawab Nuansa.
“Aku punya cukup banyak kenangan dengannya meskipun kami belum lama kenal. Dia memberikan kesan yang sangat dalam padaku, dan rasanya aku masih tidak percaya semuanya menjadi seperti ini, maksudku … dulu semuanya terasa sangat normal, aku menjalani hari-hariku sebagai pacar sewaannya, kami pernah jalan-jalan ke Korea berdua, walaupun sebenarnya tujuan kami tidak untuk jalan-jalan, lalu dia juga juga cukup sering datang ke rumahku, dan kadang juga membantu Ayahku di kebun, seperti … entahlah, aku kadang merasa kalau masa lalu itu hanya mimpi, dan kadang justru aku merasa masa kinilah yang hanya mimpi, tapi kemudian aku menyadari, kalau semua ini nyata,” sambung Nuansa.
“Kau hanya tidak pernah siap untuk hal-hal yang seperti ini.”
“Ya, aku selalu berpikir kalau hidupku akan datar-datar saja, bahkan setelah aku bertemu dengan Neptunus, tapi yang terjadi ternyata begini.”
“Siapapun pasti akan merasa kalau berada di posisimu itu berat, tapi kami ada di sini untuk menyemangatimu.”
Nuansa tersenyum. “Terima kasih.”
“Perasaanmu sepertinya sangat dalam pada kak Neptunus, ya?” kini giliran Itzan yang berbicara.
Nuansa hanya terdiam mendengar hal itu.
“Apa kau pernah jujur pada kak Neptunus mengenai perasaan sukamu padanya, Kak?” tanya Rea pada Nuansa.
“Pada diriku sendiri saja aku berusaha berbohong mengenai perasaan itu, bagaimana lagi pada orangnya langsung?” ucap Nuansa.
“Kenapa kau tidak pernah jujur pada siapapun mengenai hal itu sebelumnya? Aku rasa itulah yang membuatmu sangat memikirkannya sekarang, kau pasti menyesal karena tidak pernah secara terbuka menyatakan perasaanmu padanya.”
“Aku tidak mau membahas tentang hal itu.”
“B-baiklah.”
Suasana di dalam mobil itu lalu menjadi hening.
“Ngomong-ngomong, apa kau sudah tahu kalau paman Eugene sudah tidak dirawat di rumah sakit lagi?” tanya Itzan pada Nuansa sekitar 3 menit kemudian.
“Maksudmu, dia sudah pulang? Sudah sembuh?” Nuansa bertanya balik.
“Belum sembuh sepenuhnya, dia belum bisa jalan dengan normal lagi, tapi dia sudah dipulangkan.”
“Ke rumahnya?”
“Tentu saja, ke rumah siapa lagi?”
“Begitu, ya.”
“Kenapa kau tiba-tiba terlihat khawatir begitu?”
“Jika dia pulang ke rumahnya, artinya Vega tidak bisa mengawasinya, dan aku khawatir dia bisa mengetahui apa saja yang aku lakukan sebenarnya setelah aku membesuknya waktu itu.”
“Memangnya kenapa kalau dia tahu?”
“Kalau bisa jangan sampai, karena aku takut dia marah.”
“Menurutku tidak ada salahnya sebenarnya, kau punya alasan yang bagus dan kuat.”
“Aku tahu, tapi … sebaiknya tidak saja.”
“Berbahaya kalau ternyata semua dugaan Nuansa dan aku tentang dia ternyata benar, dia pasti akan semakin menghalangi apa yang kita lakukan jika dia mengetahui semuanya,” kata Thomas.
“Aku rasa malah lebih bagus dia mengetahuinya, karena dengan itu kita bisa menebak posisinya sebenarnya dari gerak-geriknya, tindakan, keputusan, dan bahasa tubuh,” ucap Itzan dengan keoptimisan di tingkat 1000%.
“Sayangnya semuanya pasti tidak akan semudah seperti apa yang kau katakan itu. Kau perlu mengenal paman Eugene lebih jauh lagi untuk bisa paham pendirianku, meskipun sebenarnya aku belum terlalu mengenalnya sekali, tapi … setidaknya aku sudah lebih mengenalnya dari pada kau, kan?”
“Hmm.” Itzan lantas tidak membalas apapun lagi.
“Tidak apa-apa, toh dia baru pulang dari rumah sakit, mana mungkin dia memiliki waktu untuk menyelidikimu, Kak. Maksudku, setidaknya dia pasti tidak akan memiliki masa untuk meluangkan waktu untuk saat ini, dia masih harus fokus pada penyembuhan lukanya, jadi mana sempat dia menyelidikimu, tenang saja,” Rea berusaha menenangkan Nuansa.
“He’em, mana sempat,” ujar Thomas yang tampaknya memeragakan sebuah adegan iklan, dan untungnya Nuansa memahami apa maksud Thomas sebenarnya.
“Ish! Kau ini!” gerutu Nuansa sembari memukul Thomas.
“Hahaha,” Thomas hanya tertawa setelah Nuansa merasa kesal padanya.
“Hahaha,” Itzan malah ikut-ikutan tertawa.
“Terkadang kita juga harus berguyon agar bisa mengurangi ketegangan pada pikiran kita,” lanjut Itzan.
“Aku tahu, tapi itu tidak lucu untuk saat-saat seperti ini!” sewot Nuansa.
“Baiklah, baiklah, maafkan aku,” kata Thomas. Nuansa kemudian hanya mendengus.
***
Selang beberapa puluh menit kemudian, mereka berempat akhirnya sampai di alamat rumah Edi Nuryanto. Ternyata letak rumahnya berada di sebuah desa yang cukup jauh dari pusat kota, mereka bahkan harus melewati sekitar 2 desa lain sebelum bisa sampai di desa tempat Edi Nuryanto ini tinggal.
“Dilihat dari daerah tempat dia tinggal, rasanya tidak mungkin orang yang tinggal di daerah kampung seperti ini adalah anggota geng motor, ya,” ucap Rea saat dia melihat daerah yang benar-benar sangat berbeda dari Jakarta yang metropolitan.
“Orang yang tinggal di kampung bukan berarti orang kampung sungguhan, kan?” ujar Itzan.
“Benar juga, sih.”
Mereka berempat kemudian masih harus masuk ke sebuah jalan lagi yang mana di jalan inilah rumah Edi Nuryanto berada, dan untungnya jalan ini bisa dimasuki oleh mobil, walaupun sebenarnya jalan ini cukup kecil dan lebih cocok disebut sebagai gang, ditambah lagi jalannya berbatu.
Di dalam jalan ini tidak terdapat begitu banyak rumah, hanya terdapat 5 rumah yang letaknya cukup berjauhan dari satu ke yang lainnya, karena jalan ini sendiri merupakan jalan buntu yang tidak panjang.
Thomas lantas memberhentikan mobilnya di ujung jalan tersebut, kemudian mereka berempat turun dari dalam mobil itu.
“Yang mana rumahnya?” tanya Nuansa.
“Sepertinya yang itu,” ujar Itzan sembari menunjuk rumah yang paling dekat dengan mereka, alias yang paling ujung.
“Ya, yang itu,” kata Thomas yang baru saja selesai memeriksa ulang alamat yang diberikan oleh Reynand.
Mereka berempat pun lalu mendatangi rumah yang terlihat sepi itu. Beruntungnya, rumah tersebut tidak memiliki pagar, hanya rumah yang sepertinya sudah tua, dengan halaman cukup luas yang hanya berisi rumput-rumput pendek.
Nuansa lantas mengetuk pintu rumah itu, sementara Rea dan Itzan duduk di dua kursi yang ada di teras rumah itu.
“Permisi,” ucap Nuansa sambil mengetuk.
Nuansa awalnya mengetuk sebanyak dua kali, lalu berhenti, namun karena tidak kunjung mendapatkan respon dari dalam, gadis tersebut pun kembali mengetuk pintu itu, tetapi dirinya tetap tidak mendapat respon dari dalam.
“Menurutmu apa ada orang di dalam?” tanya Nuansa pada Thomas.
“Ada sepasang sandal di sini, menurutku ada orang di dalam, tapi aku ragu juga sebenarnya, sandal tidak bisa dijadikan patokan seseorang berada di rumah, kan? Aku akan bertanya kepada orang di rumah itu,” ucap Thomas.
“Baiklah.”
Baru saja Thomas akan pergi ke rumah lain, tiba-tiba pintu rumah ini terbuka secara perlahan dan mengejutkan Nuansa yang berada di depannya.