Nuansa - Chapter 138
Setelah hampir 2 jam berjalan kaki, Nuansa akhirnya sampai di tempat dimana Tiana diserang oleh geng motor dulu.
Rasanya kaki gadis itu seperti akan patah-patah karena telah menempuh jarak 8km hanya dengan berjalan kaki hampir tanpa berhenti.
Nuansa lantas melihat jam di ponselnya, ternyata sudah pukul setengah sebelas, dan daerah ini sudah sangat sepi. Daerah ini cukup dengan dengan daerah perkotaan, jadi untuk sebuah daerah yang letaknya cukup dekat dari perkotaan, rasanya aneh bila pada jam segini daerah ini sudah sangat sepi, terlebih lagi Nuansa sebenarnya sedang berada di jalanan yang seharusnya masih ramai dilintasi oleh kendaraan, namun kenyataannya jalanan ini sangat sepi, hanya ada suara-suara jangkrik di dinginnya malam ini.
Jalanan ini mungkin bukan sebuah jalan besar, tapi untuk sebuah jalan yang berada di dekat perkotaan, memang rasanya tak wajar jika pada jam segini sudah tidak ada aktivitas di sini, malahan seharusnya jalanan ini beserta kios-kios dan toko-toko yang ada di pinggirnya adalah tempat yang aktif selama 24 jam.
Yap, jalan ini memiliki banyak kios juga toko di sisi kanan maupun sisi kirinya, mulai dari kios pulsa, kios mainan, sampai tempat tambal ban beserta bensin eceran. Ada pula minimarket yang juga sudah tutup, padahal biasanya minimarket tersebut buka 24 jam di daerah-daerah lain.
Semuanya sudah tutup, hal ini pun membuat Nuansa merasa bingung, ia menyadari ada hal yang tidak beres di sini, tetapi gadis itu tetap berjalan ke depan, dan secara tidak sengaja, Nuansa melihat ada sebuah mobil terparkir di sisi kanan jalan, namun sepertinya tidak ada orang di dalam mobil tersebut, jadi Nuansa pun terus berjalan, hingga dirinya melihat ada satu toko bangunan yang baru saja tutup.
Ada sepasang suami istri di depan toko bangunan itu, sang suami sedang mengunci pintu tokonya, sementara istrinya yang berada di dekat mobil mereka melihat Nuansa yang menghampiri mereka.
“Ibu, Bapak, maaf, saya boleh bertanya?” ucap Nuansa pada sepasang suami istri paruh baya tersebut dengan sopan.
“Ya, ada apa?” sahut si istri.
“Saya belum pernah ke sini sebelumnya, apa jalanan ini memang sepi seperti ini atau bagaimana, ya? Soalnya saya sudah berjalan kaki cukup jauh dan ingin membeli minuman, tapi tidak ada satupun toko yang buka, bahkan minimarket yang biasanya saya lihat buka dua puluh empat jam di segala tempat, malah sudah tutup di sini,” kata Nuansa.
“Oh, iya, sejak terjadi kasus pembunuhan seorang gadis bernama Tiana itu, memang segala aktivitas di sini sangat dibatasi. Pada jam setengah sebelas malam semua toko harus tutup dan tidak boleh ada yang masuk ke jalan ini setelah jam sebelas malam,” si suami menjawab pertanyaan Nuansa.
“Ooh, begitu, ya,” ujar Nuansa.
“Tapi belakangan larangan tidak boleh ada yang masuk ke jalan ini setelah jam sebelas malam sudah tidak berlaku lagi, karena di sini sejak jam sepuluh sudah sangat sepi, tidak ada yang berani masuk ke sini kalau sudah cukup larut malam, jadi tanpa larangan itupun tidak ada yang melintas di sini pada jam sebelas malam,” sambung si suami.
“Ya, dan kau sebaiknya segera pergi dari sini, tidak baik ada seorang gadis yang berkeliaran di sini pada jam segini. Geng motor itu memang hanya pernah satu kali ada di sini, yaitu waktu mereka menyerang gadis bernama Tiana itu, tapi itu tidak menutup kemungkinan kalau sewaktu-waktu mereka akan muncul di sini secara tiba-tiba, kan? Apa kau tahu kalau kasus kematian Tiana tidak tuntas? Polisi tidak berhasil menangkap geng motor yang membunuhnya, jadi berhati-hatilah,” si istri memperingati Nuansa.
“Engh, begitu ya, Bu,” sahut Nuansa.
“Iya. Kami ingin pulang, kau mau ikut bersama kami atau tidak?” tawa Ibu tersebut.
“Tidak usah, saya pulang sendiri saja,” tolak Nuansa.
“Kau yakin?”
“Iya, adik saya akan menjemput saya nanti, tadi kami sebenarnya sedang dalam perjalanan pulang, tapi mendadak ban motor dia pecah dan hanya bisa diisi dengan nitrogen, jadi dia sedang mencari pom bensin, sementara saya datang ke sini untuk membeli minuman, tapi ternyata tidak ada apa-apa di sini. Terima kasih atas tawarannya, tapi, sepertinya lebih baik saya menunggu adik saya saja,” ucap Nuansa dengan alasan palsu.
“Ooh, begitu. Yasudah, jaga dirimu baik-baik, ya.”
Nuansa kemudian mengangguk pelan seraya tersenyum manis.
Suami-istri itu lalu masuk ke dalam mobil mereka dan pergi dari sana.
‘Jadi ini benar-benar tempat Tiana dibunuh? Dan kematian Tiana adalah alasan kenapa tempat ini menjadi sepi pada malam hari?’ batin Nuansa. Gadis itu hanya bisa mematung di depan toko bangunan tersebut.
“Ibu itu bilang kalau geng motor yang membunuh Tiana tidak berhasil ditangkap oleh Polisi, itu adalah hal yang baru kuketahui sekarang. Kalau begitu, besar kemungkinannya memang geng motor yang membunuh Tiana sama dengan geng motor yang membunuh ayah. Si kutu busuk Arrayan itu, ya …” monolog Nuansa.
‘Dugaan Thomas benar, mereka kebal hukum, dan sepertinya ada Polisi yang bekerjasama dengan mereka, dan sudah pasti Polisi itu bukan Polisi bawahan seperti yang Thomas bilang. Ini permainan orang atas,’ pikir Nuansa.
‘Tapi … kuharap mereka muncul di sini sekarang juga.’
“Hei, kutu busuk! Muncul lah!” seru Nuansa, namun yang menjawabnya justru petir.
Ya, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan deras, Nuansa baru menyadari bahwa awannya sangat gelap.
“Astaga, bagaimana ini?” gumamnya, dia lantas berlari menjauhi toko bangunan tersebut dan terkejut karena ada seseorang di depannya.
Pria itu berjalan menjauhi Nuansa menuju mobil yang dilihat Nuansa tadi sebelum sampai ke toko bangunan.
“Hei! Apa kau si kutu busuk?!” pekik Nuansa.
Namun pria tersebut tidak menjawab Nuansa dan malah semakin menjauhinya, menghampiri mobil tadi.
“Kalau kau berhenti kuanggap tidak, tapi kalau kau tetap berjalan kuanggap iya!” tegas Nuansa.
Mengejutkan, pria itu tetap berjalan dan akhirnya dia sampai di dekat mobilnya. Nuansa pun terkejut dengan respon pria tersebut yang membuatnya berpikir dua kali untuk memastikan apakah pria itu adalah Arrayan atau bukan. Gadis tersebut bahkan sampai menyipitkan kedua matanya agar bisa lebih fokus.
“Tunggu sebentar, kau tidak terlihat seperti si kutu busuk kurang ajar itu,” kata Nuansa yang berhenti melangkah begitu pria itu berhenti melangkah karena sudah sampai di mobilnya.
Pria tersebut kemudian membuka pintu mobilnya.
“Kau seperti …” Nuansa mengamati pria itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya meskipun yang bisa dilihatnya hanya bagian belakang pria tersebut karena dia membelakangi Nuansa.
“Kau …” lirih Nuansa.
“Neptunus,” sambungnya.