Nuansa - Chapter 58
Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di lokasi tempat pernikahan Kim Lion dan Nana Khalila di adakan. Keduanya tampak mempesona dengan setelan pakaian masing-masing.
Sebelum sampai di sini, mereka berdua lebih dulu kembali ke hotel untuk mengganti pakaian, makanya akhirnya mereka sampai pada sore hari seperti ini.
Setelah diperbolehkan masuk oleh penjaga, segera saja Neptunus dan Nuansa masuk dan berjalan mendekati seorang wanita paruh baya yang duduk di hadapan sebuah meja.
“Siapa itu?” bisik Nuansa pada Neptunus.
“Kau akan tahu nanti,” jawab Neptunus.
“Tinggal jawab saja apa susahnya?”
“Berisik.”
Nuansa lantas hanya bisa mendengus.
“Selamat sore, Bibi,” sapa Neptunus pada wanita paruh baya tersebut dengan senyum yang sudah dia ciptakan dengan sempurna.
Mendengar suara itu, wanita paruh baya itu langsung menoleh ke arah mereka.
“Kau …?” wanita itu terlihat bingung melihat Neptunus yang menyapanya, karena terakhir kali ia bertemu dengan Neptunus adalah ketika Nep masih SMP, saat itu Bulan membawanya jalan-jalan ke Korea, dan bertemu dengan wanita paruh baya ini.
“Aku Neptunus, Bibi,” ucap Neptunus yang mencoba untuk mengingatkan wanita ini siapa dirinya.
‘Apa wanita ini adalah ibunya Kim Lion?’ batin Nuansa.
“Ah! Iya, aku baru ingat. Ya ampun, Neptunus kau sudah besar dan tampan sekali, pantas Bini tidak mengenalimu. Yasudah, kalau begitu duduk dulu,” kata Ny. Tresia, ibu Kim Lion, sembari mempersilakan Neptunus untuk duduk. Ia berhasil mengingat siapa itu Neptunus karena jarang sekali ada orang bernama Neptunus, dan seingatnya kalau nama Neptunus yang dia tahu itu hanya satu, yaitu anak teman baiknya.
“Terima kasih, Bibi,” kata Neptunus seraya duduk bersama Nuansa.
“Oh iya, di mana Ibumu?” tanya Ny. Tresia.
“Ada suatu hal yang membuatnya tidak bisa datang, Ibu memintaku untuk mewakilinya dan menyampaikan langsung permintaan maafnya kepada Bibi,” jelas Neptunus.
Nuansa hanya terdiam kaku tidak tahu harus berkata apa, namun bola matanya terus saja menjelajahi keindahan tempat itu.
“Kenapa dia tidak memberitahuku tentang hal ini?” tanya Ny. Tresia.
“Engh …” Neptunus bingung harus menjawab apa.
“Karena ini adalah hal dadakan, bahkan setelah aku sampai di Korea, Ibu tidak bisa dihubungi karena ponselnya mati,” sambung Neptunus.
“Aduh, sayang sekali ya, padahal aku ingin sekali bertemu dengannya. Kemarin dia bilang dia tidak mau datang ketika anakku ini mengadakan resepsi pernikahan di Indonesia karena katanya dia hanya ingin ada aku. Tapi sekarang buktinya dia juga tidak datang. Yasudahlah, apapun hal dadakan itu, aku hanya akan menitipkan salamku untuknya padamu,” ucap Ny. Tresia.
“Iya, Bibi, akan aku sampaikan,” ujar Neptunus.
Sesaat setelah itu, tatapan Ny. Tresia menangkap sosok manis yang duduk diam di dekat Neptunus.
“Ah, boleh aku tahu dia siapa?” tanya Ny. Tresia sambil menatap Nuansa.
Nuansa langsung salah tingkah dan menelan ludahnya dalam-dalam karena dia bingung harus berkata apa, secara statusnya hanya pacar sewaan Neptunus.
“Dia pacarku, Bibi,” jawab Neptunus seraya melirik Nuansa dengan senyum nakal.
Ny. Tresia lansung tersenyum dan memuji Nuansa yang terlihat anggun. Mereka kemudian berkenalan dan membicarakan beberapa hal. Setelah itu, Neptunus berpamitan untuk membawa Nuansa pindah duduk agar lebih dekat dengan pemandangan pantai sambil menunggu detik-detik munculnya sunset.
“Jadi itu ibunya Lion, ya?” tanya Nuansa pada Neptunus.
“Ya,” jawab Neptunus.
“Dia sangat ramah.”
“Ya.”
“Kau sudah lama tidak bertemu dengannya, ya? Sampai dia tidak mengenalimu tadi.”
“Ya.”
“Ish! Nep!”
“Lagi-lagi.”
“Apanya?!”
“Panggil aku dengan nama itu lagi.”
Napas Nuansa mulai tidak teratur begitu Neptunus mengatakan hal itu, ingin rasanya ia menghajar pria ini, namun ia harus jaga sikap di sini.
“Cepat,” pinta Neptunus.
“Ya.”
“Tidak lucu, Nuansa-”
“Aku tidak melucu.”
Neptunus lantas menyipitkan matanya, kemudian mendengus. Pria itu lalu fokus bermain ponsel, sementara Nuansa menikmati keindahan sunset di sini, ia tidak henti-hentinya mengagumi keindahan ciptaan Tuhan ini.
“Hei.” Nuansa memanggil Neptunus beberapa menit kemudian.
“Apa?” sahut Neptunus.
“Kau tidak memberi hadiah apa-apa pada pengantinnya?”
“Astaga, pertanyaan macam apa itu?”
“Aku tidak melihat kau membawa apa-apa ke sini selain aku, jadi ya wajar saja kan kalau aku bertanya seperti itu.”
“Kau pikir Ibuku belum memberi hadiah pada mereka?”
“Jadi bibi Bulan yang memberikan hadiahnya sebelum kita sampai di Korea?”
“Yang diundang kan awalnya Ibuku, jadi pasti Ibuku sudah membeli hadiahnya, dan kurasa dia sudah mengirimnya sekarang. Lihat saja, bibi Tresia akan mendapatkan panggilan dari Ibuku nanti.”
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?”
“Ibuku tahu diri! Astaga, dari tadi pertanyaanmu membuatku geram.”
“Hehehe, maaf.”
“Ngomong-ngomong, pengantinnya di mana?”
“Di ruangan lain, kau ingin bertemu dengan mereka?”
“Ya.”
“Baiklah.”
Nuansa lantas bangkit.
“Nanti,” lanjut Neptunus.
“Huh?” ucap Nuansa.
“Aku ingin menikmati keindahan sunset di sini dulu.”
“Ish, kau ini! Bukannya dari tadi!” sewot Nuansa.
“Suka-suka aku.”
“Humph!” Nuansa hanya bisa mendengus.
“Sunsetnya indah, ya,” ujar Neptunus.
“Siapapun yang bilang sunset itu tidak indah pasti punya masalah,” ketus Nuansa.
“Sunsetnya tidak indah, ya.”
“Grrh! Aku tidak peduli kau mau bilang apa, karena sejak awal kau memang bermasalah!”
Wajah Neptunus langsung berubah begitu Nuansa mengatakan hal itu. Nuansa menyadari jika Neptunus memberikan reaksi yang tidak ia duga sebab pria itu tidak membalasnya lagi. Gadis tersebut pun kemudian kembali menoleh pada Neptunus.
Nuansa terkejut melihat ekspresi wajah Neptunus, ia tidak pernah melihat Neptunus begitu sebelumnya, membayangkan saja tidak pernah. Nep benar-benar memberikan reaksi yang tidak Nuansa duga.
“Nep, apa kau baik-baik saja?” tanya Nuansa yang sengaja memanggil Neptunus dengan nama itu agar Neptunus ‘kembali’.
Namun Neptunus tetap diam sambil menatap Nuansa. Meskipun ia menatap Nuansa, tampak jelas bahwa pikirannya sedang melayang kemana-mana.
Ekspresi wajah Neptunus sekarang menggambarkan ketakutan dan kegelisahan yang luar biasa, namun ia juga terlihat seperti sedang merasakan sakit, bahkan dirinya berkeringat sekarang, padahal tempat ini sangat sejuk.
“Neptunus!” panggil Nuansa sembari menghentakkan tubuh pria itu.
“Uh?!” sahut Neptunus yang akhirnya ‘tersadar’.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Nuansa yang tampak khawatir.
“Ti-tidak ada, ayo kita masuk, kau ingin bertemu dengan pengantinnya, kan?”
“Ya.”
“Kalau begitu, ayo.” Neptunus kemudian bangkit dan pergi duluan, sementara Nuansa masih berada di tempat itu, ia terdiam karena merasa bingung dengan Neptunus.
‘Ada apa dengannya? Dia terlihat sangat berbeda tadi,’ batin Nuansa.
“Aku paham jika di hadapan teman-temannya juga lingkungan kampusnya, dia terlihat keren atau semacamnya, lalu di hadapan keluarganya dia hanya orang normal, dan di hadapanku juga para mantan-mantannya, serta Gladys, dia menyebalkan. Meskipun aku dan Gladys bingung dia yang sebenarnya itu bagaimana, tapi yang tadi itu sangat berbeda, apa itu dia yang asli? Tidak, tidak, apa yang aku pikirkan? Sudahlah,” gumam Nuansa, ia lantas pergi menyusul Neptunus.