Nuansa - Chapter 62
Tepat pada pukul 12 siang, pesawat yang ditumpangi oleh Neptunus dan Nuansa akhirnya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Perut keduanya sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, dan kini mereka sama-sama sudah siap untuk memberi jatah kepada perut mereka masing-masing.
Neptunus dan Nuansa sepakat untuk makan di sebuah restoran yang ada di Bandara tersebut. Neptunus mengantre di kasir, sementara Nuansa memilih kursi untuk didudukinya bersama Neptunus.
Setelah mendapatkan kursi dan meja, Nuansa berniat menelpon kedua orangtuanya untuk memberikan kabar kepada mereka bahwa ia sudah tiba di Indonesia, namun ketika ia sedang mencari-cari nomor kontak mereka di ponselnya, ia baru ingat bahwa kedua orangtuanya itu tidak memiliki ponsel.
‘Oh, iya. Ibu dan Ayah tidak punya ponsel,’ batin Salma, ia pun lantas memasukkan ponselnya lagi ke dalam tasnya, sesaat kemudian, Neptunus datang.
“Bagaimana?” tanya Nuansa.
“Sudah aku pesan, nanti Pelayan datang mengantarkan pesananku,” jawab Neptunus.
“Oh, begitu. Ngomong-ngomong, siapa yang akan menjemput kita nanti? Apa kita akan pulang dengan menaiki taksi?”
“Tentu saja tidak, aku sudah menghubungi paman Hoho, dia yang akan menjemput kita.”
“Aku malah mengira Finn yang akan menjemput kita.”
“Finn? Tidak, aku tidak ingin merepotkannya.”
“Memangnya kapan kau tidak merepotkan orang?”
“Tidak pernah, sesekali mungkin aku merepotkanmu, tapi itu pun karena kau sangat merepotkanku.”
“Masaaaaa.”
“Aku bukan kau, yang benar-benar merepotkan, sampai foto yang tertukar saja ditangisi.”
Nuansa memang menangis di dalam pesawat sembari memeluk foto yang tertukar itu sampai dirinya tertidur, ia membuat Neptunus khawatir karena tidak mau memakan atau meminum apapun, sebab itu Neptunus jadi kerepotan, ia tidak bisa tidur karena memikirkan Nuansa, tapi untunglah ketika bangun, Nuansa menjadi ‘waras’.
“Itu normal, jangan kau samakan hal itu dengan hal yang merepotkan,” ucap Nuansa yang membela diri.
“Bagiku sama saja,” ujar Neptunus, Nuansa pun kemudian hanya bisa mendengus.
“Ngomong-ngomong, Wisnu ternyata kemarin keluar secara terpaksa dari kampus karena ada masalah keluarga, dia memberitahuku melalui pesan ketika aku masih berada di dalam pesawat, dan tadi aku baru membaca pesannya,” kata Neptunus pada Nuansa.
“Lalu?” tanya Nuansa.
“Aku hanya memberitahumu saja.”
“Kau tidak akan memiliki teman laki-laki? Gladys bilang kau hanya memiliki dua orang teman laki-laki.”
“Aku punya banyak teman asal kau tahu saja, mungkin kau salah dengar dari Gladys, karena dia tahu kalau temanku banyak, tapi yang paling dekat hanya dua, dan mereka sering jadi temanku dalam bermain musik.”
“Kalau begitu kau hanya akan memiliki satu teman dekat yang laki-laki?”
“Aku bisa dekat dengan siapa saja, aku tidak akan menganggap bahwa teman dekatku kini hanya akan tersisa satu, kalau aku mau akrab dengan yang lainnya aku juga bisa memiliki banyak teman dekat.”
“Hanya saja mereka tidak mau.”
“Hei, terbalik.”
“Tidak apa-apa, lebih cocok seperti itu.”
“Kau ini.”
Beberapa saat kemudian makanan mereka pun datang, Nuansa dengan cacing di perutnya yang sedang menari-nari pun ingin langsung membumi hanguskan hidangan yang disajikan untuknya, sampai ia lupa untuk berdoa terlebih dahulu, tetapi untung saja Neptunus menegurnya, sehingga Nuansa pun jadi merasa sedikit malu, tapi tak apalah, toh Neptunus juga orangnya malu-maluin, pikir Nuansa.
Tak butuh waktu yang lama bagi Nuansa dan Neptunus yang sama-sama sedang lapar untuk memborbardir makanan mereka secara cetar membahana sehingga menjadi sesuatu di dalam lambung mereka, keduanya menuntaskan makanan mereka secara tajam setajam silet hanya dalam waktu dua menit saja.
Bayangkan saja, dengan porsi yang cukup banyak itu, mereka berdua sanggup membuka dan menutup portal untuk makanan-makanan tersebut agar masuk ke dalam lambung mereka hanya dalam waktu 2 menit saja, dan piring keduanya benar-benar sudah bersih licin, bahkan jauh lebih licin dari pada kepala Ipin.
Melihat Nuansa yang juga makan dengan sangat buas sepertinya, Neptunus pun ragu bahwa gadis itu sudah merasa kenyang.
“Kau mau tambah? Pesan saja lagi, tidak apa-apa,” tawar Neptunus.
“Tidak, tidak, aku sudah kenyang, tidak usah lagi, ini saja sudah begah rasanya, aku rasa perutku membuncit sekarang,” ucap Nuansa yang perutnya memang sudah terasa manja setelah sebelumnya cacing-cacing di perutnya melakukan aksi maju mundur cantik.
“Yakin?” tanya Neptunus yang ingin memastikan bahwa Nuansa sudah benar-benar kenyang.
“Kau mau ingin perutku meledak atau bagaimana?” Nuansa bertanya balik.
“Aku hanya bertanya, siapa tahu kau masih lapar, soalnya aku lihat kau makan dengan sangat lahap tadi,” ujar Neptunus.
“Katakan hal itu untuk dirimu sendiri.”
“Hei, aku kalau makan memang secepat cahaya.”
“Benarkah?”
“Ya, aku benci untuk mendiamkan makanan, kalau sudah disajikan, aku akan langsung menghabiskannya detik itu juga.”
“Rekormu makan paling lama berapa menit?”
“Enam jam.”
“Tunggu, apa?! Kau bilang makanmu sangat cepat kan?! Enam jam itu seharusnya sudah … kau tahu kan? Maksudku, perut kita merasa lapar setiap empat jam sekali, jadi … bagaimana bisa?!”
“Wekawekaweka, waktu aku kecil, aku justru makan sangat lama, tapi entah kenapa semakin dewasa, durasi aku makan juga semakin cepat.”
“Memangnya pengaruh?”
“Tidak juga, karena pada saat umurku enam tahun saja porsi makanku sama dengan Ayahku.”
“Apa?!”
“Ya, itu kenapa aku dulu makan dengan sangat lama, bahkan jika sesekali porsi makanku cukup sedikit, waktu yang aku habiskan untuk menghabiskannya bisa sampai setengah jam karena aku sudah terbiasa makan dengan sangat lama.”
“Tunggu, tunggu, aku bingung. Itu artinya kau dulu obesitas?”
“Aku dulu aktif bergerak, bahkan ketika makan saja aku bisa sambil bermain, maksudku, aku meninggalkan makananku di meja, lalu pergi bermain, lalu setiap beberapa menit sekali aku masuk lagi untuk memakan makananku.”
“Oh, pantas saja kau makan dengan sangat lama.”
“Tidak, bukan begitu juga sebenarnya, aduh, bagaimana cara menjelaskannya ya. Jadi pada saat aku masih kecil, kira-kira ketika usiaku masih enam sampai delapan itu memang makanku entah kenapa sedang banyak-banyaknya, dan Ibuku sama sekali tidak melarang jika aku makan sebanyak itu, asalkan aku menghabiskannya, tidak boleh dibuang sama sekali, karena itu juga salah satu bentuk tanggung jawab, kan? Yasudah, kalau aku sudah merasa kenyang dan makanan di piringku masih ada, aku pergi main. Dan rekor terlamaku makan itu dari jam enam sore sampai jam dua belas malam baru selesai.”
“Bagaimana bisa anak kecil tidak tidur pada saat jam dua belas? Apa kau sudah tidur sebelumnya?”
“Tidak, aku hanya tidur siang, tapi bagi anak-anak sebenarnya itu tidak ada pengaruhnya, kan? Karena semua anak-anak pasti sudah mengantuk sebelum jam sepuluh malam, saat itu aku tidak tidur karena aku tidak akan tidur sebelum makananku habis.”
“Dan kau kapok untuk makan banyak-banyak?”
“Tidak juga.”
“Apa?!”
“Ya, tapi beberapa lama setelah itu, aku rasa setelah kasus penculikan Ayah dan Ibuku, aku mulai jarang makan, dan akhirnya makan dengan porsi yang sesuai.”
“Kenapa kau makan dengan begitu banyak dulu?”
“Aku tidak tahu, aneh memang, tapi aku bahkan tidak mengetahui alasannya, karena aku mengambil makananku sendiri mungkin, tapi itu tidak ada pengaruhnya, kan? Seharusnya kita semua tahu porsi mana yang sesuai untuk lambung kita, kan? Nah, saat itu aku tahu kalau itu sangat banyak untukku, tapi aku tetap melakukannya setiap hari.”
“Dan kau selalu menghabiskan makananmu?”
“Selalu, tapi kurasa satu atau dua kali aku tidak habis, karena bahkan bisa kukatakan bahwa pada saat itu porsi makanku melebihi porsi makanku yang sekarang.”
“Dan kau tidak obesitas?”
“Tidak, aku bahkan tidak gemuk, tapi badanku cukup padat, jadi terlihat sehat.”
“Ah, pasti sangat menggemaskan.”
“Begitulah, bagaimana denganmu?”
“Kurasa makanan yang pernah masuk ke lambungku sejauh ini, sembilan puluh persennya adalah singkong, kau bisa membayangkan bagaimana jenuhnya aku memakan singkong, jadi aku kalau makan selalu sedikit, dan tidak pernah lama,” jawab Nuansa.
“Kupikir jika menunya dibuat bervariasi tidak akan membosankan, kan?”
“Ya, tapi dulu kami buta dengan yang namanya variasi, setiap hari hanya ada singkong rebus, terkadang digoreng, itupun kalau ada stok minyak. Di rumah kami dulu sangat jarang ada minyak, kami membuat keripik menggunakan pasir, jadi ketika aku bisa memakan singkong goreng, saat itu aku berasa sedang memakan makanan di sebuah restoran bintang lima,” papar Nuansa.
Neptunus lantas hanya terdiam.
“Tapi itu dulu, sekarang ketika kami sudah sanggup membeli minyak, ya kami jadi tidak buta lagi akan yang namanya variasi, ditambah lagi aku adalah seorang gadis, pastilah tahu cukup banyak tentang masakan, jadi akulah yang mengajak Ibu pertama kalinya untuk membuat perkedel singkong, risol singkong, dan lain-lain,” sambung Nuansa.
“Bagaimana dengan getuk?” tanya Neptunus.
“Kami satu keluarga kurang suka olahan yang manis, lebih suka kepada yang gurih, alhasil kami dulu sangat jarang membuat getuk, tapi sekarang lumayan sering juga dibuat demi variasi,” jawab Nuansa.
Neptunus kembali terdiam.
“Tidak usah kau bayangkan bagaimana rasanya ada di posisiku, hahaha, lagi pula itu hanya masa lalu, lupakan saja,” kata Nuansa.
“Aku hanya memikirkan seberapa sehat kau dan kedua orangtuamu, karena singkong itu sangat menyehatkan, kan?” ujar Neptunus.
“Ya, itu kenapa walaupun Ayah sakit-sakitan, tapi fisiknya masih tetap kuat,” ucap Nuansa.
“Kurasa aku ingin memakan singkong saja setiap harinya.”
“Kalau kau minum alkohol ya sama saja, Neptunus.”
“Hmmm, pengaruh ya.”
“Tentu saja.”
“Ngomong-ngomong, apa tawaranmu tadi masih berlaku?” lanjut Nuansa.
“Tawaran yang mana?” Neptunus bertanya balik.
“Itu loh … yang tentang tambah.”
“Hm?”
“Aku pesan satu porsi lagi, ya? Perutku ternyata masih belum puas berkonser.”
“Halah, kau ini, tadi ditawari tidak mau. Yasudah sana.”
“Wekawekaweka.”
Nuansa lantas berdiri.
“Ngomong-ngomong, ‘wekawekaweka’ itu cukup menyebalkan,” protes Nuansa.
“Lalu kenapa kau mengatakannya juga?” tanya Neptunus.
“Aku hanya ingin membuatmu kesal juga, tapi ternyata kau tidak kesal sama sekali,” jawab Nuansa.
“Wekawekaweka,” Neptunus tertawa.
Nuansa pun hanya bisa memasang ekspresi wajah datar melihat pria itu.