Nuansa - Chapter 99
Emma saat ini sedang tidur di dalam kamarnya, ia digotong tadi karena pingsan, dan baru sadar sekarang. Gadis itu kemudian melihat jam, ternyata ini sudah hampir pukul 2 pagi.
Dia lantas membungkus dirinya dengan selimutnya sembari menangis pelan. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, sontak saja Emma terkejut dan melihat siapa yang masuk ke dalam kamarnya.
“Paman?! Apa yang kau lakukan?!” tanya Emma kepada orang yang masuk ke dalam kamarnya yang ternyata adalah sang tukang kebun.
“Sssssht, jangan berisik,” ucap si tukang kebun yang lantas menutup pintu kamar Emma dan menguncinya, dia lalu berjalan mendekati Emma.
“Paman keluar sekarang juga dari kamarku!” bentak Emma.
“Sungguh? Dalam keadaan seperti ini kau pasti tidak hanya butuh dukungan, kan? Tapi juga belaian agar kau merasa lebih tenang, iya, kan?”
“Paman, jangan gila!” Emma terlihat benar-benar ketakutan sekarang seraya memeluk selimutnya.
“Oh, Emma, gadis yang malang,” ujar si tukang kebun sambil mengelus wajah Emma.
“Apa yang kau lakukan?!” tanya Emma, tubuhnya bergetar hebat sekarang.
“Tenanglah, tidak usah gemetar seperti itu, aku tahu kau gugup, tapi santai saja,” kata tukang kebun tersebut.
Emma lantas menepis tangan tukang kebun di rumahnya itu.
“Jangan macam-macam kau!” seru Emma.
“Diam kau!” ucap si tukang kebun yang merasa geram, dia memegangi kedua sisi pipi Emma, lalu menarik selimutnya.
“Kau milikku sekarang, sayang,” sambungnya.
Emma kemudian berteriak sejadi-jadinya, tetapi tampaknya hal itu tidak akan memberikan dampak apapun sebab si tukang kebun menutup mulutnya.
***
Sementara itu, Nuansa dan Arfan memulai drama mereka di luar. Nuansa menyeret sang Ayah, dan Arfan tampak berpura-pura tertusuk di bagian perut, dia menutupi bagian tersebut dan berakting seolah-olah ia merasakan sakit yang teramat sangat dengan ekspresi wajahnya yang mendukung.
Ketika mereka sampai pada pos Satpam, tentu saja Satpam yang ternyata hanya berjumlah 2 orang itu terkejut, mereka langsung keluar dari pos masing-masing dan menghampiri Nuansa yang bergaya seperti perampok, dan Arfan yang seolah-olah adalah korban penusukan.
“Jangan mendekat dan biarkan aku masuk, atau dia akan mati!” ancam Nuansa pada 2 Satpam tersebut.
Kedua Satpam itu lalu langsung mematung.
“Di mana teman kalian yang lain?” tanya Nuansa.
“Tidak ada, kami hanya berdua,” jawab salah satu Satpam.
“Aku tidak percaya!”
“Kami yang mengisi shift malam, ada dua orang sebelum kami yang mengisi shift pagi dan siang, mereka sudah pulang, jadi hanya ada kami berdua,” jawab yang satunya lagi.
Nuansa kemudian memperhatikan kedua pos Satpam yang ada di sana, memang hanya ada dua pos Satpam, dan jawaban mereka bisa diterima dengan akal sehat.
“Nona, tolong lepaskan dia,” pinta salah seorang Satpam, di nametagnya tertulis bahwa namanya adalah Reynand, nama yang sangat familiar bagi Nuansa.
“Tidak … biarkan dia masuk, dia berjanji akan melepaskanku jika kalian membiarkannya masuk, jika kalian tidak membiarkannya masuk, keluargaku yang akan berada dalam bahaya, dan aku pasti akan dibunuh olehnya. Tolong … biarkan dia masuk,” kata Arfan, aktingnya benar-benar sangat baik, dia benar-benar terlihat seperti orang yang tertusuk dan pisaunya masih menancap.
Nuansa kemudian melepaskan Ayahnya dan berlari ke dalam perumahan tersebut.
Satpam yang bernama Juna berniat untuk mengejar Nuansa, tetapi Arfan berhasil menahannya hanya dengan berpura-pura kesakitan dengan mengeluarkan suara-suara khas orang yang sedang kesakitan.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Satpam Juna kepada Satpam Reynand.
“Hubungi Polisi, aku akan memeriksa keadaan pria ini,” ujar Satpam Reynand.
Satpam Juna lalu mengangguk, kemudian masuk ke dalam posnya untuk menghubungi Polisi. Sementara Satpam Reynand memeriksa keadaan Arfan.
“Tuan, boleh saya lihat luka Anda?” tanya Satpam Reynand pada Arfan.
“Tidak … tidak usah … aku akan baik-baik saja,” ujar Arfan.
“Tapi kenapa?”
“Pisaunya masih menancap, aku tidak ingin pisau ini dicabut, selama aku menahannya seperti ini, aku tidak mengalami pendarahan.”
“Tapi, setidaknya biarkan saya melihatnya.”
“Tidak usah, aku tidak mau aku darahku mengalir karena aku melepaskan tanganku dari luka dan pisau ini.”
“Tangan Anda tidak membawa pengaruh apapun, Tuan.”
“Tidak … aku tidak mau.”
“Baiklah, tunggu sebentar, saya akan ambilkan air putih,” Satpam Reynand lantas masuk ke dalam posnya untuk mengambil air putih.
‘Nuansa … cepatlah,’ batin Arfan.
***
“Nona Emma! Nona Emma!” Ihih saat ini sedang menggedor-gedor pintu kamar Emma, sementara di dalam kamar tersebut, Emma sedang berusaha untuk membebaskan dirinya dari tukang kebun bejat ini.
“Lepaskan aku!” teriak Emma sembari mendorong pria paruh baya itu sampai terjatuh. Dalam keadaan setengah telanjang, Emma lantas membuka pintu kamarnya dan langsung memeluk Ihih.
“Bibi, tolong aku,” pinta Emma seraya menangis.
“Astaga, Nak. Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Ihih.
“Entahlah,” jawab Emma yang masih terlihat syok dan ketakutan.
“Wan! Sadarlah! Apa yang kau lakukan pada anak ini?!” seru Ihih pada si tukang kebun yang sedang bangkit.
“Menurutmu apa?” Wan bertanya balik.
“Kau akan dipenjara untuk hal ini, Wan!”
Wan kemudian berjalan mendekati Emma dan Ihih, Emma hanya bisa berlindung di belakang Ihih, dia benar-benar terlihat ketakutan, terlebih lagi si tukang kebun yang bernama Wan itu menatapnya dengan tajam sebelum turun dan pergi dari sana.
“Bibi, ayo kejar dia! Dia pasti berusaha untuk kabur!” ujar Emma yang memang sedang melihat pergerakan Wan bersama Ihih dari lantai 2, tampak jelas memang Wan yang sedang berpakaian berjalan menuju pintu, dan kemudian keluar.
“Biarkan dia,” kata Ihih.
“Huh?”
“Ada Satpam di sana, dia pasti akan tertangkap.”
“Pakailah pakaianmu, Nak,” lanjut Ihih.
***
Nuansa saat ini sedang bersembunyi di dapur, dia menyadari bahwa situasi di rumah ini sedang tidak beres sejak dirinya mendengar suara gedoran pintu yang diciptakan oleh Ihih tadi, dan gadis itupun melihat dengan jelas bagaimana Wan pergi dari sana, dan tak lama kemudian Ihih menyusulnya. Nuansa lalu mengeluarkan kepalanya dari pintu untuk memastikan bahwa situasi aman.
Namun, tanpa sengaja, Nuansa melihat Ihih berhenti, memang Ihih berada di luar, tetapi pintu depan terbuka sedikit, jadi Nuansa bisa melihat sedikit bagian tubuh Ihih.
Nuansa memutuskan untuk tidak fokus kepadanya, waktu yang dia miliki untuk mendapatkan rekaman asli tersebut tidak banyak, belum lagi dia harus mengetahui di mana Emma menyimpan rekaman asli itu.
Gadis tersebut pun kemudian naik ke lantai 2 dan melihat pintu kamar Emma yang tertutup. Nuansa lalu menghampiri pintu tersebut, dan pada saat itu juga dia menyadari bahwa Emma tidak tertidur di dalam, sebab langkah kaki Emma yang akan keluar dari kamarnya terdengar dengan jelas. Nuansa pun langsung panik karena tidak ada tempat persembunyian apapun di sini, lantai 2 hanya berisi beberapa kamar yang jarak antara satu dan yang lainnya cukup jauh, jadi Nuansa tidak memiliki cukup waktu untuk sampai ke kamar lainnya.