System Technology And Superpower - 50 Bab 50
“Tuan….” panggil seorang pria terbaring di rumah sakit dengan kaki dan tangan yang patah.
Seorang pria berusia sekitar 40 tahun memandang pria yang sedang berbaring di kasur rumah sakit. Tanpa perasaan, dia memaki pria yang ada di depannya, “Dasar tak berguna. Tak bisa menjaga anakku dengan benar. Lebih baik kau mati saja.”
Pria itu terkejut dengan apa yang dikatakan oleh pria paruh baya tersebut. Ada jejak kemarahan di matanya.
“Pak tua ini … jika saja bukan karena melindungi anaknya, sudah dipastikan anaknya akan berbaring di ranjang rumah sakit ini. Dan juga, pemuda yang diprovokasi oleh anaknya juga adalah seorang monster. Aku tak pernah menyangka bahwa pemuda itu memiliki kekuatan yang luar biasa besar,” pikir pria itu.
“Kau akan kupecat. Urusan rumah sakit, kau sendiri yang akan membayarnya.”
Setelah mengatakan hal itu, pria paruh baya itu pergi meninggalkan pria yang berbaring di ranjang rumah sakit.
Melihat pria paruh baya itu keluar dari kamar perawatannya, pria itu mendengkus dingin. Dengan mata merah dan tatapan membunuh, ia bersumpah, “Membuangku begitu saja setelah terluka parah begini? Dasar bajingan tua! Tunggu saja, aku akan membuatmu menderita! Setelah itu, aku akan membuat pemuda itu menderita karena telah berani membuat tulang-tulangku patah.”
….
Setelah dua bulan dirawat di rumah sakit, pria itu bisa pulang ke rumah dengan kondisi sedikit pincang.
Selama di rawat, dia merenungi apa yang telah ia lakukan di masa lalu dengan tuan muda yang ia jaga dan juga pada masa ia masih menjalani pekerjaan sebagai tentara bayaran. Tapi, tetap saja rasa ingin membunuh dan kebencian pada keluarga pria paruh baya dan pemuda itu tak pernah hilang.
Ia dengan penuh kebahagiaan pulang ke rumahnya. Ia sangat merindukan keluarganya yang ada di rumah.
Namun, ia tak akan menyangka bahwa hal yang akan ia alami sangat tragis.
Ketika sampai di rumahnya, ia membuka pintu rumah dengan sangat bersemangat. Namun, ketika dia membuka pintu rumah, yang ia lihat adalah rumah dengan penuh cairan kental berwarna merah dengan bau seperti bau besi berkarat.
Setelah beberapa saat, ia bangkit dan dengan cepat mencari-cari istri dan anak-anaknya di semua tempat yang ada di rumah.
Ia ke dapur, tapi hanya menemukan bercak darah di dinding. Kemudian ia pergi ke toilet. Namun, hasilnya tetap sama. Lantas ia pergi ke kamarnya.
Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya di kamarnya. Seluruh isi kamar penuh dengan warna merah dari darah dan bau darahnya menyengat.
Menurut pengetahuan tentara bayarannya, semua ini terjadi kurang dari satu jam sebelum ia sampai ke rumah.
Kemudian, ia melihat mayat seorang wanita dan dua anak-anak.
Mayat wanita itu memeluk anak-anaknya untuk melindungi mereka.
Seketika saja, pikiran pria itu runtuh. Air mata mengalir di wajahnya. Sebuah kilas balik senyuman istri dan anak-anaknya terlintas di pikirannya. Hal itu membuat hatinya semakin perih dan tangisannya semakin deras.
Ia tertunduk lesu dan berteriak sejadi-jadinya sambil memeluk istri dan anak-anaknya.
Berbagai penyesalan terus berdatangan melintasi pikirannya. Semakin dia menyesali perbuatannya di masa lalu, semakin banyak air matanya yang mengalir di wajahnya. Rasa sakit, kebencian, keputusasaan, penyesalan, dan perasaan lainnya saling bercampur aduk dalam benaknya.
Ia sangat ingat ketika dia memarahi istrinya karena ketahuan bahwa ia selingkuh dengan wanita lain, tapi dirinya malah mengkasari istrinya. Bukannya melapor pada polisi, istrinya ini malah tersenyum dengan uraian air mata di wajahnya dan berkata, “Maafkan aku karena tak menjadi istri yang baik untukmu.”
Kemudian, ketika dia memarahi dan memukuli anak-anaknya hanya karena mereka meminta dia untuk pulang lebih cepat dan menemani mereka bermain.
Ia juga ingat saat ia membawa seorang gadis muda ke rumah dan istrinya hanya bisa tersenyum padanya.
Setelah ia mengantar wanita tersebut pulang, istrinya berkata padanya dengan berurai air mata, “Kamu boleh berselingkuh, tapi pikirkanlah anak-anakmu yang membutuhkan sosok seorang ayah. Mereka juga membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Tolonglah lebih banyak meluangkan waktu untuk mereka.”
Namun, apa yang didapat oleh sang istri itu hanyalah sebuah tamparan keras. Pria itu berkata, “Apa hakmu untuk menyuruhku meluangkan waktu untuk anak-anak? Selama ini aku banyak kerjaan dan juga menghasilkan uang. Jadi, jangan banyak protes dan urusi saja anak-anakmu itu.”
Ia juga sangat mengingat ketika ia kehabisan uang untuk selingkuhannya, sang istri pulang dengan wajah lelah sambil membawa uang, ia dengan kasarnya merampas uang hasil jerih payah sang istri. Padahal, uang itu sangat dibutuhkan sang istri untuk kebutuhan rumah tangga. Sedangkan dia, uang itu digunakannya untuk bersenang-senang dengan selingkuhannya.
Alasan mengapa sang istri tidak menggugat cerai dia adalah karena sang istri tak mau anak-anaknya tumbuh tanpa kehadiran sang ayah di sisi mereka. Dan juga, hingga saat terakhir hidupnya, semua biaya hidup anak-anaknya dari sang suami.
Hingga akhir hayatnya, sang istri dengan kuat tersenyum melindungi anak-anaknya sampai akhir. Hal ini membuat pria itu semakin menangis.
Entah berapa lama ia menangis, ia tak bisa melupakan perilakunya terhadap keluarganya sampai sekarang. Ia juga tak bisa meminta maaf lagi pada semua anggota keluarganya yang sekarang sudah menjadi mayat.
Ekspetasi kehidupan bahagia yang ia pikirkan ketika kembali ke rumah hancur berkeping-keping.
….
Setelah menenangkan dirinya, ia melihat sebuah surat yang ada di atas kasur. Surat itu berlumuran darah.
Ia dengan cepat mengambil surat itu dan membacanya.
Isinya adalah :
Selamat siang, emm, atau selamat sore?
Jadi, bagaimana kesehatanmu, Bimo? Apakah sudah keluar dari rumah sakit?
Yah, kutahu kau akan keluar dari rumah sakit sekitar 1 jam dari sekarang.
Bagaimana perasaanmu setelah disambut dengan mayat keluargamu yang tak berharga yang pernah kau katakan padaku dahulu?
Apakah kau senang? Bahagia? Atau kau malah tertawa?
Yah, yang kutahu, pasti kau sedang memikirkan siapa aku, bukan?
Yah, daripada memikirkan itu, aku akan memberitahumu langsung.
Aku adalah kepala keluarga Wirawan, kurasa. Atau, lebih tepatnya adalah Arjuna Wirawan, Ayah dari Yudhistira Wirawan.
Maafkan aku kalau hadiah ini tak seindah hadiah yang kau harapkan dariku. Aku hanya bisa memberimu hadiah seperti ini. Semoga kau senang menerimanya.
Aku tak ingin berbasa basi lagi. Ini adalah balasan jika kau membiarkan anakku terluka lebam di wajahnya. Dasar tentara bayaran tak berguna, sampah masyarakat, bajingan dan tentu saja, seorang brengsek.
Memikirkan balas dendam? Kemarilah ke kantor perusahaanku. Aku akan membiarkanmu masuk dan bertarung denganku, pincang!
Salam,
Arjuna Wirawan
….
Setelah membaca surat tersebut, Bimo langsung marah. Tubuhnya memancarkan aura membunuh.
Ia tahu benar tulisan tangan di surat itu adalah tulisan tangan Arjuna sendiri. Ia sudah sering kali melihat tulisan tangan itu sampai muak.
Ia meremukkan surat itu dengan tangannya. Mata penuh amarah dan tatapan dingin, ia berkata, “Arjuna, Yudhistira, tunggu saja pembalasan dariku. Aku akan membuat kalian lebih menderita dari apa yang aku rasakan.”
Setelah mengatakan itu, ia membaringkan tubuh istri dan kedua anaknya. Setelah berdiam beberapa menit dari tubuh keluarganya, ia pun pergi tanpa member tahu warga lain mengenai pembunuhan yang menimpa keluarganya.
Ia juga sudah memikirkan bagaimana membalas dendam pada keluarga Wirawan untuk masalah ini. Ia menghilang untuk beberapa hari ke depan.
…..
Beberapa jam setelah kepergian Bimo dari rumahnya, seorang warga mencium bau darah dan bau busuk dari rumah keluarga Bimo. Ia dengan penasaran mengetuk rumah keluarga Bimo dan terkejutnya dia ketika dia melihat isi rumah keluarga Bimo. Banyak barang dan dinding mempunyai bercak darah.
Ia dengan cepat melapor pada Ketua RT dan Ketua RW. Hal ini membuat kehebohan pada warga sekitar. Pak RT dan juga Pak RW dengan cepat melaporkan kasus ini pada piah yang berwajib.
Setelah beberapa saat, pihak Kepolisian pun dating dan mulai pemeriksaan di TKP dan mencari penjelasan pada saksi-saksi.
Ahli forensik juga memeriksa mayat korban dan menemukan sidik jari pelaku. Dan pemilik sidik jari tersebut adalah Bimo.
Setelah mereka bertanya-tanya pada warga mengenai Bimo, pihak Kepolisian pun semakin yakin kalau Bimo adalah pelakunya.
Selain itu, mereka juga mendapat petunjuk dari pihak rumah sakit mengenai Bimo yang baru saja keluar.
Dan dengan kebetulan ahli forensik berkata kalau sang istri dan anak-anaknya dibunuh tak lama setelah Bimo keluar dari rumah sakit. Hal ini membuat mereka semakin yakin lagi.
Sayangnya, barang bukti penting seperti surat dari Arjuna tadi dibawa oleh Bimo/Jika dia meninggalkan surat itu, bukan dia yang akan dijadikan seorang tersangka.
Tapi, apa yang mereka sangkakan adalah sebuah kesalahan. Semua ini sudah direncanakan sedemikian rupa oleh pelaku sebenarnya.
Bimo menjadi seorang buronan. Tetapi,bahkan jika dia tahu dia menjadi buronan pun, dia tak peduli. Tapi yang ia sayangkan adalah ia dituduh membunuh keluarganya sendiri.
….
Beberapa hari telah berlalu. Kini Bimo tahu bahwa dirinya telah menjadi seorang buronan. Namun ia tak bereaksi banyak.
Ia juga akan membalas dendam hari ini. Ia mengetahui informasi bahwa hari ini Arjuna akan ada di rumahnya. Ia berpikir ini adalah waktu yang tepat untuk membunuh Arjuna terlebih dahulu.
Ia telah mempersiapkan berbagai hal yang dibutuhkan. Ia berangkat ke villa dimana Arjuna tinggal. Villa itu tak jauh dari keramaian kota dan juga tak jauh dari hutan kota.
Ia menggunakan jaket dan topi beserta kacamata hitam. Selain itu, ia juga membawa tongkat untuk membantunya berjalan. Dengan ini, penyamarannya semakin tak kelihatan.
Setelah berpuluh-puluh menit menggunakan mobil taksi ke area villa, Bimo sampai ke tujuan.
Ia turun dan langsung menuju villa. Penjaga keamanan area villa tak menyadari bahwa itu adalah Bimo. Mereka menganggap dia hanyalah orang biasa yang iseng lewat area villa.
Setelah berhasil menyusup ke dalam, Bimo masuk ke villa Arjuna tanpa ada penjaga seorang pun.
Bimo bingung dengan kekosongan penjaga villa Arjuna. Saat ia bertugas dulu, ada beberapa penjaga keamanan yang akan berkeliaran di sekitar area villa Arjuna. Namun, hari ini tak ada seorang pun.
Ia menjadi lebih waspada. Ia tahu bahwa kamar Arjuna ada di lantai tiga. Ia juga tahu bahwa setiap Arjuna sedang beristirahat di villanya, Arjuna akan ‘bermain’ dengan satu atau dua wanita.
Dengan hati-hati Bimo naik ke lantai tiga lewat bangunan luar. Setelah beberapa menit, ia sampai pada balkon.
Sesampainya di sana, ia disambut oleh suara desahan dari dua orang wanita yang mendesah dengan suara kencang.
Ia dengan hati-hati melihat keadaan di dalam kamar lewat jendela.
Setelah merasa bahwa tak ada penjaga yang ada didalam kamar, Bimo beraksi dengan memecahkan jendela kaca kemudian ia melesat maju ke ranjang Arjuna.
Tak butuh waktu lama baginya untuk menyingkirkan dua wanita tersebut. Setelah ia, ia menarik sebuah pisau di dalam jaketnya dan menusuk Arjuna.
Tapi, Arjuna dengan sigap berguling ke samping untuk menghindari tusukan itu.
Arjuna berdiri dengan cepat, ia kemudian memindahkan tatapannya pada Bimo yang menatapnya dengan mata merah dan wajah penuh amarah.
Namun, Arjuna tak takut sama sekali. Daripada mereasa takut, dia malah tersenyum mengejek pada Bimo.
Hal ini membuat Bimo sedikit terkejut, tapi ia tak memikirkan terlalu banyak. Ia kemudian melemparkan pisau ditangannya ke arah Arjuna.
Setelah melakukan itu, ia kemudian melesat cepat ke arah Arjuna dan melepaskan sebuah tendangan ke arah kepala Arjuna.
Namun, sebelum pisau itu sampai pada Arjuna, seorang pengawal muncul dari dalam lemari besar. Pengawal itu membelakangi Bimo, ia menggunakan punggungnya untuk melindungi Arjuna dari pisau.
Kemudian, untuk tendangan yang dilepaskan oleh Bimo secara otomatis batal karena kejutan dari pengawal Arjuna. Ia mundur beberapa langkah dari Arjuna untuk membuka jarak.
Setelah satu pengawal muncul, beberapa pengawal lain juga muncul. Setelah melihat ini, Bimo akhirnya mengerti mengapa Arjuna tak takut dan mengejeknya.
Setelah berpikir sedikit, Bimo memilih untuk kabur dan mencari kesempatan lain untuk membalas dendam pada Arjuna.
Ia mengambil beberapa pisau lagi dan melemparkannya secara acak ke arah depan. Setelah itu dia mengambil langkah mundur.
“Setelah menyerangku, kemudian kabur seenak jidatmu? Tidak semudah itu Ferguso! Kejar dia!” Arjuna dengan cepat memerintahkan pengawalnya untuk mengejar Bimo.
Sedangkan dia, dia menggunakan pakaiannya dengan rapi dan keluar dari villa dengan santainya. Untuk kedua wanita yang ia ‘pakai’ sebelumnya, ia hanya melemparkan ratusan lembar uang seratus ribu pada mereka dan mereka berebut satu sama lain untuk mendapatkan uang itu.
“Benar saja ucapan orang itu kalau Bimo akan melakukan pembunuhan terhadapku. Untung saja aku sudah mempersiapkan semuanya sehingga aku masih bisa selamat. Hm, hukuman apa yang pantas untuk Bimo kali ini?” gumam Arjuna sambil menuruni tangga dengan santai.
Sementara itu, Bimo mati-matian melarikan diri dari pengepungan pengawal Arjuna. Meskipun sudah menyingkirkan beberapa pengawal, ia tetap saja tak bisa melarikan diri dan akhirnya ditangkap oleh pengawal Arjuna.
Bimo babak belur dihajar oleh beberapa pengawal Arjuna. Setelah beberapa menit, Arjuna pun datang menghampiri Bimo yang sudah babak belur.
Ajuna melihat wajah Bimo yang babak belur, kemudian ia melemparkan senyum mengejek Bimo yang membuat Bimo memberontak ingin memukul Arjuna. Tapi sayangnya ia sudah ditahan oleh beberapa orang sehingga dia tak bisa melarika diri ataupun membalas perbuatan mereka.
Melihat Bimo yang memberontak, Arjuna melepaskan tamparan pada Bimo.
Arjuna kemudian berkata, “Mau membunuhku, tapi pas gagal mau kabur begitu saja? Tuman!”
Tamparan melayang lagi ke pipi Bimo yang sudah memar.
“Sudah pernah dikasih pekerjaan yang baik malah mau membunuhku, Tuman!”
Belasan kali Bimo terkena tamparan dari Arjuna. Wajah Bimo bengkak seperti wajah babi.
Arjuna berhenti menampar Bimo, ia berkata, “Lepaskan dia, buat kakinya patah lagi, kemudian-”
Belum selesai Arjuna berkata, sebuah gumpalan darah mengenai wajahnya. Bimo tersenyum lebar hingga gigi ompongnya kelihatan karena ini.
Kejadian ini membuat pengawal Arjuna marah dan memukuli Bimo lagi. Bukannya meraung kesakitan, dia malah tertawa terbahak-bahak.
“Dikasih kesempatan untuk melanjutkan hidup, malah dibalas seperti ini. TUMAN!”
Kali ini, Arjuna menampar Bimo dengan seluruh kekuatannya.
Tapi, tetap saja Bimo tertawa. Ia kemudian meludahkan darah lagi pada Arjuna.
“Lumpuhkan dia, buat dia sekarat. Biarkan dia mati secara perlahan kemudian buang dia di hutan kota bagian tempat yang sepi.”
Arjuna memrintahkan itu kemudian pergi meninggalkan tempat.
Para pengawal melaksanakan tugasnya untuk melumpuhkan Bimo. Mereka membuat patah tangan, kaki, hidung, jari tangan, dan oragan lainnya. Kemudian, mereka menembakkan peluru pada tubuh Bimo hingga banyak darah mengalir dati tubuhnya.
Setelah itu, mereka mengangkut di mobil dan membawanya ke hutan kota.
Bimo ditinggalkan berbaring sendirian dengan tubuh penuh luka dan darah.
“Jika saja … jika saja aku diberi satu kesempatan lagi, akan kuhancurkan seluruh keluarga Arjuna Wirawan!” matanya memancarkan kemarahan dan kebencian yang mendalam.
Kemudian, ia mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya.
“Tatapan yang bagus,” ucap sesosok orang misterius.
Meskipun sudah sekarat, dia tetap saja waspada. Ia berkata, “Siapa kau? Apa yang kau inginkan?”
“Aku? Hanyalah orang biasa yang kebetulan lewat. Jika kamu ingin membalas dendam, aku akan memberikan sebuah kesempatan padamu. Sebagai bayarannya, kamu akan bekerja untukku. Bagaimana?” orang itu menawarkan penawaran yang menggoda.
Setelah mendengar apa yang dikatan sosok misterius tersebut, Bimo tergiur. Ia tak perduli ia dijadikan boneka atau semacamnya, asal kesempatannya untuk balas dendam diberikan. Ia berkata, “Bisakah kau? Jika memang benar-benar bisa, maka aku akan melakukan apapun yang kamu suruh.”
“Makanlah pil ini. Ini pil terakhir yang aku punya.” Sosok misterius itu menaruh obat tersebut di mulut Bimo.
Bimo langsung memakannya tanpa memperdulikan hal lain lagi. Seluruh hatinya hanyalah berisi balas dendam pada keluarga Wirawan.
“Sepertinya dendammu cukup dalam. Aku akan membawamu ke markas.”
Sosok misterius itu hilang di hutan kota yang sepi.