System Technology And Superpower - 57 Bab 56
Mendengar jawaban Bimo, Arjuna sangat terkejut. Butiran keringat dingin muncul di dahinya.
“A-apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya dengan gugup.
“Bukannya tadi sudah kubilang kalau aku kesini untuk membalaskan dendamku kepadamu karena kau telah membantai istri dan anak-anakku!” kata Bimo dengan suara penuh amarah.
“Mem-membantai? A-aku benar-benar-”
Belum selesai Arjuna berbicara, Bimo langsung memukul tubuh Arjuna dengan keras.
“Ack!”
Suara nyaring Arjuna kesakitan karena pukulan Bimo.
Akibat dari pukulan Bimo, Arjuna terpental beberapa meter dan ia dihentikan oleh tembok rumahnya. Selain memuntahkan darah, punggungnya pun berdarah akibat dampak dari hantaman tembok dan juga pukulan Bimo.
Tembok di rumahnya pun menjadi retak layaknya jaring laba-laba. Jika saja tembok itu tidak tebal, maka Arjuna sudah menembus tembok itu.
“Hm?” Bimo mengerutkan alisnya setelah mengetahui bahwa Arjuna masih bisa bernapas.
Namun, setelah beberapa saat, ia kemvalu tersenyum.
Ia melangkah mendekati Arjuna yang dalam posisi telungkup. Dengan kasar dia mengangkat tubuh Arjuna seperti ia mengangkat tubuh boneka yang sudah rusak.
“Aku ingin jawaban jujur darimu. Katakanlah, kenapa kau membantai keluargaku?” tanya Bimo dengan nada asuara yang berat.
“A-aku … a-aku …”
Arjuna ingin mengatakan faktanya, namun akibat dari dampak pukulan tadi membuatnya terengah-engah hanya untuk berbicara.
“Aku apa? Katakan dengan jelas!” Bimo membentak Arjuna dengan suara keras tepat di depan wajah Aruna yang penuh kesakitan.
“A-aku tak mem-membantai-”
Bimo langsung menampar wajah Arjuna dengan tangan yang lain.
Dengan nada yang sangat marah, ia bertanya lagi, “Kutanya sekali lagi. KENAPA KAU MEMBANTAI KELUARGAKU? KENAPA?!”
Suasana hening sebentar setelah Bimo melayangkan pertanyaannya.
Setelah mengumpulkan tenaganya untuk bicara, Arjuna berkata, “A-aku tidak me-melakukan hal tersebut. Uh, a-aku juga ti-tidak tau mengenai hal itu. Aku-”
Sekali lagi Bimo menanpar wajah Arjuna di bagian pipi yang lain. Wajah Arjuna hampir hancur. Wajah yang dulunya tampan kini bengkak seperti wajah babi.
“A-aku-”
Bimo menampar wajah Arjuna lagi.
Setelah Bimo menampar Arjuna, dia diam dan menatap Arjuna menunggu jawaban darinya. Namun, setelah beberapa saat ia menunggu, Arjuna pun tak kunjung menjawab.
“Sepertinya kau butuh sesuatu yang menstimulasimu untuk menjawab pertanyaanku,” kata Bimo dengan senyum sadisnya.
Arjuna hanya menatap Bimo dengan wajahnya yang sudah bengkak. Air matanya tak berhenti mengalir, darah dari hidung dan mulutnya sudah mengotori wajah bagian bawahnya.
Arjuna sangat ingin berbicara, tapi mulutnya tak bisa lagi bergerak. Begitu juga suaranya, tak bisa keluar dan hanya tersangkut ditenggorokan.
Luka di organ bagian dalamnya semakin parah.
Hanya menunggu waktu untuknya mati, tetapi entah mengapa, Arjuna merasakan malaikat maut bermain-main dengannya.
Sebelum melanjutkan aksinya, Bimo menatap wajah Arjuna yang penuh penderitaan. Tetapi, bukannya sedih atau kasihan, ia malah bahagia.
Ini adalah apa yang aku inginkan, yang aku inginkan adalah meihatnya menderita. Sangat menderita hingga dia berharap untuk mati.
Begitu pikir Bimo setelah melihat wajah penderitaan Arjuna.
“Mari kita mulai,” ucap Bimo.
Mendengar Bimo mengatakan hal itu, Arjuna menatap Bimo dengan enggan. Ia mengelengkan kepalanya dengan pelan, namun Bimo tak memperdulikannya.
Menurut Bimo, bahkan jika Arjuna menggelengkan kepalaya sampai patah pun, ia tak peduli. Malah, itu akan lebih membantunya untuk membut Arjuna tersiksa.
Bimo mengambil tangan Arjuna kemudian memegang jarinya. Dengan santainya dia mematahkan jari Arjuna.
Karena stimulasi dari rasa sakit, Arjuna mengerang kesakitan dengan sangat keras.
Ia menatap Bimo dengan mata berair untuk meminta Bimo berbelas kasih padanya. Namun, itu malah membuat Bimo terpicu untuk membuatnya tersiksa.
“Masih tak mau berbicara?” tanya Bimo.
“Bu-bukan aku yang melakukan itu,” jawab arjuna dengan suara sangat parau.
Meskipun dia sudah mengetahui bahwa jika dia menjawab seperti itu dia akan disiksa, dia tetap mengungkapkan kejujurannya.
Bimo tak tahu apa yang dipikirkan Arjuna, ia terus melanjutkan penyiksaan pada Arjuna sampai dia benar-benar mengakui kalau dirinya yang membunuh keluarga Bimo.
….
Kini, semua bagian tubuh Arjuna terluka parah. Semua jari di tangan dan kakinya semuanya patah dan hancur karena siksaan Bimo.
Begitu juga lengan, bahu, lutut, paha, tulang kering, semua dipatahkan oleh Bimo.
Selain itu, seluruh tubuhnya berdarah. Namun, ia masih bisa bernapas.
Arjuna tak bisa bergerak lagi. Dengan satu mata yang tersisa, ia menatap Bimo dengan tatapan kosong, tatapan yang tidak lagi mengandung harapan untuk hidup.
Saat ini, dalam pikirannya hanyalah menginginkan kematian.
Di sisi lain, wajah Bimo menunjukan ekspresi buruk. Ia terus bertanya pada Arjuna tentang pembantaian keluarganya dan jawaban Arjuna selalu sama, bahkan setelah seluruh tubuhnya rusak jawabannya masih tetap sama, yaitu “Bukan aku yang melakukan itu.”
Apakah benar yang dikatakan olehnya kalau dia bukanlah pelaku tersebut? Mengapa ada tulisan tangan dari Arjuna?
Berbagai kemungkinan terlintas di dalam pikiran Bimo.
“Jangan bilang, anak itu yang melakukan semua ini?” gumam Bimo memikirkan kemungkinan ini.
Karena dalam keputusasaan, pikirannya mengarahkan bahwa pelaku yang membantai keluarganya adalah anak itu.
“Akan kubunuh kau!” teriak Bimo dengan putus asa.
Tanpa mempedulikan kehidupan ataupun kematian Arjuna, Bimo meninggalkannya terbaring di rumahnya.
….
Bimo sudah jauh meninggalkan villa Arjuna.
Selama diperjalanan, dia merenungkan kesalahpahamannya pada Arjuna, yang dia anggap sebagai pelaku yang membantai istri dan anak-anaknya.
Sambil berlari, ia menatap langit biru yang dihiasi oleh awan putih yang sangat cerah. Saat memandangi langit, Bimo memikirkan bagaimana ia membalas dendam kepada pelaku yang sebenarnya.
Tanpa ia sadari, ia telah sampai di sebuah gedung sekolah bertuliskan “SMK Negeri Sinar Abadi”
….
Bimo menunggu dengan sabar. Ia menunggu dalam kegelapan di sebuah gang yang sepi. Ia terus memperhatkan gerbang sekolah sampai bel pulang berbunyi.
Beberapa jam kemudian, bel ulang pun berdering. Banyak siswa SMK keluar dari sekolah menuju rumah masing-masing ataupun pergi nongkrong ke suatu tempat.
Ia memperhatikan setiap murid laki-laki yang keluar dari gerbang sekolah, tapi ia tak melihat pemuda yang ia cari.
Matanya memerah menunggu kehadiran pemuda itu. Ia telah menunggu beberapa jam dengan sabar, tapi karena stimulasi dari bel sekolah, ia menjadi tak sabaran untuk membalas dendam kepada pemuda itu.
Kemudian seorang pemuda berlari dengan terburu-buru menuju pinggiran kota. Melihat itu, Bimo tersenyum gembira. Ia merasakan darah di dalam tubuhnya mendidih karena semangat untuk membalaskan dendamnya.
Ia mengikuti pemuda itu di balik bayang. Semakin jauh dia mengikuti anak itu, semakin tak sabar ia ingin memukul anak tersebut.
Akhirnya, sampai pada suatu jalan yang sangat sepi, saat pemuda itu akan melewati sebuah mobil, Bimo langsung menyerang pemuda itu tanpa sepatah katapun. Sayangnya, pukulannya itu berhasil dihindari pemuda itu dengan berguling ke arah depan.
Meskipun begitu, Bimo tak kesal sedikit pun. Semakin lama targetnya bertahan hidup, semakin lama juga ia bisa menyiksanya.
Ia menatap pemuda itu dengan seringai, sedangkan pemuda itu menatapnya dengan waspada sambil menggumamkan sesuatu.
“Akhirnya, akhirnya, akhirnya, akhirnya, akhirnya nyahaha, balas dendamku, balas dendamku, balas dendamku, balas dendamku akhirnya bisa kulakukan juga, Aku, aku, aku, aku, aku sudah menantikan ini sejak lama. Sejak kau membuatku patah tulang dan juga telah membantai keluargaku!”
Bimo mengatakan itu dengan tawa keras yang menyeramkan.
Pemuda itu terlihat bingung menatap Bimo yang ingin membalas dendam padanya. Namun ia tetap bersikap waspada meskipun ia tak paham apa yang dimaksud oleh Bimo.
Pemuda itu melemparkan tasnya kemudian memasang kuda-kuda tanda siap bertarung dengan Bimo.
Bimo juga bersiap-siap. Setelah beberapa saat, ia kemudian melesat maju dan berteriak nyaring.
“Matilah kau, Daniel!”