Terpaksa Menikahi Tuan Muda - Chapter 161 Sofi dan Jen
Di saat Saga dan rombongan
berangkaat menuju kota XX yang indah dengan pemandangan laut dan pantainya. Ada
yang tertinggal di ibu kota. Dialah dua gadis cantik Sofia dan Jenika. Ibu sendiri
memilih untuk pergi keluar kota mengunjungi kakak laki-lakinya. Menyusun
rencana yang tidak di dukung siapapun. Kedua anak perempuannya sudah
mewanti-wanti untuk menghentikan apapun rencana itu. “ Baiklah, aku hanya ingin
mengunjungi paman kalian selama Saga pergi.” Akhirnya Jen melepas kepergian ibu
mereka.
Dua gadis itu memasuki lift setelah
menerima kunci kamar, satu kamar untuk mereka pakai bersama. Lelah seharian di kampus dan tempat magang,
membuat mereka membisu satu sama lain. Semakin tertekan setelah menutup telfon
yang baru saja Jen terima dari sekertaris Han. Laki-laki itu dengan amat
lugasnya membacakan aturan yang harus mereka taati selama kepergian Saga. Ntah
kenapa, setiap kali membacakan peraturan Han selalu terdengar jauh lebih
bersemangat dibanding situasi apapun.
“ Kakak kami bisa pergi sendiri.”
Jen terkejut saat kedua pengawal yang sedari tadi mengikuti mereka ikut masuk.
“ Maaf nona, kamar kami juga ada di
lantai yang sama dengan kamar nona.”
Apa! Sekertaris Han menyebalkan!
Jen dan Sofi kompak mengutuk nama
itu di hati mereka masing-masing tanpa dikomando. Benar saja, Setelah sampai di
lantai kamar mereka, kamar dua kakak pengawal itu memang ada di samping mereka.
“ Selamat istirahat nona.” Dua
laki-laki itu membungkukan kepala mereka.
“ Jangan berdiri di depan pintu
kami!” Jen menatap serius. “ Kami bersumpah tidak akan pergi ke mana-mana. Jadi
kalian masuklah ke kamar.” Pintu kamar Jen sudah terbuka. Tapi dua pengawal itu
tidak bergeming dari tempatnya. Sofia sudah masuk duluan ke dalam kamar. “ Ayo
sana masuk kamar kalian.” Jen mengusir dengan tangannya.
“ Nona, kami hanya memastikan nona
berdua aman.” Salah satu dari mereka bicara.
Walaupun tidak terjadi apapun, yang
penting kami sudah melakukan prosedur yang semestinya. Begitu gumam keduanya
dalam hati. Menyelamatkan diri jika evaluasi nanti.
“ Memang akan terjadi apa? di hotel
kak Saga” Berteriak akhirnya. Sekertaris Han benar-benar mendidik para pengawal
dengan baik. Terutama kedua orang ini. Untuk itulah mereka yang terpilh dari sekian
banyak pengawal yang ada. “ Kakak, aku janji hanya akan di kamar tidak
kemana-mana. Jadi kalian juga masuk dan istirahatlah.”
Memang aku putri kerajaan apa.
“ Baiklah nona, tapi berjanjilah
tidak melakukan sesuatu yang.”
“ ia, ia. Aku janji.” Memotong pembicaraan.
“ Ayo masuk sama-sama biar adil. Buka pintu kalian.” Pintu kamar samping
terbuka, salah satu sudah berdiri di depan pintu. “ Ayo masuk sama-sama. Aku
hitung ya.” Dua pengawal itu menganguk saja mendengar instruksi Jen. “ Satu,
dua, tiga.” Hanya jen yang hilang di telan pintu. Sementara dua pengawal itu
masih berdiri di tempatnya memastikan kalau dua gadis yang masuk tidak keluar
lagi. Setelah yakin, akhirnya mereka masuk ke dalam kamar mereka.
Sofia sudah ambruk di atas tempat tidur.
Tasnya sudah ada di ujung kasur. “ Ini karena kak Jen akhir-akhir ini selalu
menempel pada kakak ipar, kita jadi terdampar di sini.” Berbaring menatap
langit-langit kamar sambil menjejakan kaki sedikit kesal.
“ Kenapa aku? Kak Saga memang tidak
akan mengajak kita kali, inikan bulan madu.” Protes mengudara. Jen juga merasa
masih menggangu dalam intensitas wajar. Menurut standarnya.
“ Tapi Pak Mun dan sekertaris Han
saja ikut. Hiks-hiks.” Sofi membayangkan lautan biru di kepalanya. Menyelam dan
bermain dengan ikan warna warni. Berjemur di pantai yang hangat.
Aaaaa, aku benar-benar ingin pergi.
Apalagi pergi ke kampus sedang benar-benar tidak menyenangkan.
“ Kalau sekertaris Han memang
separuh hidupnya kak Saga, kalau pak Mun, kenapa dia diajak ya. Aaaa aku
iriiiii. Kupikir aku bisa ikut bersenang-senang. Kitakan bisa ambil foto banyak
di pantai.” Lagi-lagi Jen membayangkan suasana yang sama dengan Sofi. Dia
bahkan jauh lebih ekstrim, dia ingin memakai pakaian putri duyung dan berpose
bak putri lautan di pantai.
“ Sudah kubilang jangan menempel
pada kakak ipar terus. Pokoknya ini gara-gara kak Jen.”
Jen merengut, ikut ambruk di atas
tempat tidur sambail meraih bantal guling dan memeluknya. Berfikir, apa
akhir-akhir ini dia memang kelewatan menempel pada kakak iparnya.
Ah tidak, aku biasa saja kok. Kak
Saga saja yang pelit. Kalau berurusan dengan kakak ipar.
“ Lalu, kita cuma bisa keluar masuk
kamar dan keliling hotel aja?” Jen mulai kesal. Lebih-lebih memikirkan menu
makanan hotel. Baginya masakan koki di rumah masih lebih baik mendekati
seleranya.
Jen dan Sofi memang jauh lebih
tertarik makanan strett food, walaupun terkadang mereka sembunyi-sembunyi
membelinya. Taukan, generasi sekarang, makanan itu yang pertama harus
memanjakan mata dulu. Baru bisa menyentuh hati dan perut kemudian. Karena
keduanya termasuk rutin memposting apa yang mereka makan di sosial media.
“Kak Jen, baru sadar sekarang! Aku saja sudah merinding
saat Han membacakan aturannya tadi.” Sofi bergerak mengambil hp di tasnya. Sepi,
chat yang biasanya setiap saat membombardir lengang. Hanya chat beberapa grup
kampus dan teman kuliahnya. Yang dinanti tidak mengirim pesan. Dia merengut
lalu memilih membuka media sosialnya.
“ Kak Jen, memang sejauh apa si
kamu suka sama kak Raksa?” Mengobati galau dengan sok mencari tahu kisah cinta
orang lain. Dia menelusuri postingan-postingan receh mengusir galau di hatinya.
Jen menoleh pada adiknya, yang
bertanya bahkan tidak mengalihkan pandangan dari hp. Dia bergumam sendiri,
mengajak hati dan pikiraannya untuk membuat jawaban yang bisa membuat adiknya
iri. Dilebih-lebihkan dari segala sudut.
Krik, krik bahkan sampai beberapa
lama dia binggung untuk mulai membuat
kalimat.
“ Sudah, tidak usah menjawab, aku
sudah tahu jawabannya.” Bosan menunggu yang tak pasti.
“ Apa! Aku saja belum selesai
berfikir bagaimana kau bisa menyimpulkan jawabanku.” Tidak terima, karena
sepertinya alasannya itu sudah ada diujung kepala. Tapi susah sekali kalau di
susun dalam satu kalimat.
“ Sudah kak, aku sudah tahu. Dari
dulu kamu kan selalu begitu kalau lagi jatuh cinta.” Beralih sebentar dari hp,
lalu tertawa melihat wajah Jen kesal.
“ Apa!”
“ Ya gitu otaknya agak kosong kalau
lihat orang baik sedikit aja.” Tertawa jauh lebih keras.
“ Kurang ajar kamu!” Jen memukul
adiknya dengan guling yang dipeluknya. Begitulah Jen, dia memang mudah
tersentuh dengan kebaikan orang lain. Apalagi orang-orang yang tidak mengenal
siapa dirinya. Siapa keluarganya. Orang-orang yang hanya mengenalnya sebagai Jenika.
Hingga terkadang memang dia sangat mudah dimanfaatkan, sampai dia sendiri tidak
merasa kalau dia sedang dimanfaatkan oleh orang. Jen tidak pernah mengatakan
siapa keluarganya, karena memang Sagapun tidak memperkenalkan adik-adiknya ke
publik. Namun orang bisa melihat, dari penampilan Jen, mobil yang dia bawa.
Bahwa dia punya segalanya untuk layak dijadikan teman.
“ Aku lapar, cari makanan di luar yuk.” Saat
mendengar perutnya yang mulai berbunyi.
“ Tuh kan kosong lagi isi
kepalanyanya. Sekertaris Han bilang lewat jam enam jangan keluar dari hotel.
Lupa!”
Keduanya mengumpat dalam hati lagi.
Menyebut satu nama.
“ Tunggu, kak Saga pasti sedang
asik dengan kakak ipar, dia tidak mungkin mengecek keberadaan kitakan. Lagian
ini juga belum malam. Aku ingin makan nasi goreng XX.”
Lagi-lagi keduanya membayangkan
sepiring nasi goreng pedas yang asapnya masih mengepul, dengan taburan bawang
goreng garing, dan daging kambing di atasnya. Walaupun harus dibeli dengan
melewati antrian panjang tapi mereka akan rela menempuhnya.
“ Ayo kabur sebentar.” Jen bangun
duduk. Merapikan rambut dan bajunya.
“ Kita mau naik apa?” Sofi sudah
ingin menyerah saja. Pulang dari kampung dan kantor saja mereka dijemput tadi.
“ Telfon pacarmu, minta jemput di
sebrang hotel. Kita keluar diam-diam.” Jen mengeryit saat Sofi malah meraih
bantal lalu memukulinya berulang. Melemparkan bantal dan dia ambil lagi lalu
dibenamkan wajahnya di sana. Dia memang tidak terisak, tapi adegan itu cukup
dramatis membuat Jen kuatir. “ Hei kenapa?”
Aku menyebut siapa si tadi, pacar,
hei kenapa? Jangan bilang kamu putus juga.
“ Kenapa?” mengoyangkan kaki Sofi.
“ Putus sama Haze?” Sekarang sudah diguncang tubuh adiknya keras karena tidak
menjawab pertanyaan. “ Hei kenapa? Dia selingkuh?” Ntahlah, kalau pertengkarang
antar hubungan kadang selalu dipicu oleh pihak ketiga. Hingga yang terpikirkan
hanya tema perselingkuhan.
Hiks, aku bahkan ingin jadi pihak
ketiga hubungan seseorang.
“ Tidak!” Masih membenamkan wajah.
“ Lalu kenapa? Kamu disakiti?” Sofi
mengeleng, masih diposisi semula. “ Benar juga, tidak mungkin ya, dia bahkan
tergila-gila padamu sudah sampai level begitu.” Wajah Haze terbayang di kepala
Jen. Laki-laki perawakan sedang, tingginya dibawah Jen tapi masih sama dengan
Sofi. Mereka terlihat sangat manis berdua. Sama-sama polos. Hanya dibayangkan
saja sepertinya jahat sekali kalau menuduh wajah polos itu selingkuh.
“ Bukan! Kami bertengkar kemarin.” Membalikan
badan dan bangun. Mengambil bantal dan memeluknya di pangkuan.
“ Kenapa?” Terkejut.
“ Aku menamparnya.” Membenamkan
wajahnya dibantal. “ Aku menamparnya di mobil dua hari lalu.”
Waww, bocah ini main tampar tamparan. Jen tidak percaya. Ini Sofi lho, kalau Helene menampar kakak ipar mungkin dia masih bisa percaya.
“ Kenapa?” Penasaran.
Jen menatap adiknya yang masih
membenamkan wajah dibantal. Lalu Sofi mendongak, merengut.
“ Dia tiba-tiba menciumku di dalam
mobil. Aku jadi refleks menamparnya.”
Hah! Semakin mengejutkan saja bocah ini.
Begitulah, bagi seorang kakak. Terkadang berapa usia adikmu, selalu dianggap bocah belum cukup umur.
Jen sedang berusaha mengulang
adegan yang diceritaakan Sofi. Saat mereka sedang ada di lampu merah, dan Sofi
bicara panjang lebar kemana-mana. Tiba-tiba Haze menyambar bibir Sofi. Dan yang terjadi kemudian refleks Sofi menamparnya.
Ya Tuhan, aku pasti tertawa kalau
ada di sana. Dia hanya ingin membungkam multmu Sofi.
“ Kenapa kau menamparnya? Beneran
gak suka. Haha.” Jen menyenggol lengan adiknya.
“ Soalnya aku langsung ingat kak
Saga. Dan Ingat kejadian beberapa tahun lalu.”
Semua langsung
mengheningkan cipta mendengar nama Saga di sebut. Jen sampai menoleh meyakinkan
diri kalau tidak ada yang mendengar. Melihat ke arah pintu, Tidak mungkinkan Kak Saga atau Han tiba-tiba muncul di sana.
Bersambung